Akar Sejarah Filantropi Muhammadiyah, Cikal Bakal Lembaga Zakat yang Direalisasikan Secara Berkelanjutan

Ditulis oleh berita
Ditulis pada 15:59, 04/07/2024
Cover Akar Sejarah Filantropi Muhammadiyah, Cikal Bakal Lembaga Zakat yang Direalisasikan Secara Berkelanjutan

JAKARTA -- Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama RI menggelar webinar ekspos zakat dan wakaf “Akselerasi Pencapaian Pembangunan Berkelanjutan Melalui ZISWAF”, pada Kamis, 4 Juli 2024.

Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama RI menggandeng Lazismu dan Forum Nasional Himpunan Prodi Manajemen Zakat dan Wakaf (Fornas Mazwa) sebagai wujud sosialisasi dan edukasi tentang literasi zakat dan wakaf.

Dipandu oleh Muhammad Nizarul Asror selaku moderator, webinar ini merupakan agenda rutin setiap pekan yang akan berakhir di bulan Desember 2024. Dalam pengantarnya Nizarul Asror mengatakan literasi zakat dan wakaf adalah penting untuk dikenal masyarakat secara luas. Karena itu, publikasi dilakukan tidak hanya secara online tetapi melalui ragam saluran secara online. 

Bertindak sebagai moderator, Nizarul Asror membuka webinar dengan kupasan singkat tentang kiprah Lazismu. Bagaimana tata kelola dan koordinasinya mengingat Lazismu jaringannya ada di seluruh Indonesia. Perihal ulasan singkatnya, jawabannya tentu akan dijawab oleh Lazismu yang diwakili oleh Direktur Utama Lazismu, Ibnu Tsani selaku narasumber.

Untuk menjawab hal itu, dalam kupasannya, Ibnu Tsani menjawab dari dua sisi, pertama dari aspek historis dan kedua dari aspek tata kelolanya. Merujuk pada Kisah Pergerakan Moehammadijah Bagian PKO di Djokja, yang ditulis Drijowongso dalam Suara Muhammadiyah (1923), aksi kebajikan muhammadiyah dalam pelayanan zakat dimulai pada pukul 7 sore hingga pukul 12 malam.

Dengan semakin banyaknya orang yang ingin berdonasi, maka layanan zakat harus dimulai pukul 6 pagi. Untuk kelancaran pendistribusian, muhammadiyah membagikan kupon kepada penerima zakat, tiga hari sebelum jadwal pendistribusian, jelas Ibnu Tsani mengutip sumber historis itu.

Upaya kreatif dilakukan muhammadiyah di masa perintisan berdirinya organisasi ini, berdasarkan rapat anggota yang dipimpin oleh KH. Ahmad Dahlan, muhammadiyah mengesahkan pendirian Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) pada tahun 1920.

Dilanjutkan pada Kongres ke- 16 tahun 1927 di Pekalongan, diputuskan bahwa muhammadiyah harus menjadi amil zakat. Inovasi kembali dilakukan muhammadiyah, salah satunya adalah mengusulkan kepada pemer intah kolonial Hindia-Belanda pada 4 April 1940, melaui surat nomor 44968/A4, 29 November 1940, tentang permohonan muhammadiyah mencetak dan menjual prangko yang pada akhirnya disetujui. Harga prangko bervariasi, mulai dari kisaran 2 sen, 3,5 sen, 7,5 sen, 10 sen, dan 15 sen.

Penjualan dikelola tim khusus, Hoofdcomite Franco Amal Muhammadijah. Ketua komite, Mas Mansur dan Sekretaris, S Tjitrosoebono. Periode penjualan, 22 September-31 Oktober 1941. Penjualan prangko dilakukan dengan menggandeng kantor pos dan menyediakan loket khusus penjualan. Tampilan prangko menyajikan gambar dan tema prangko yang memuat kiprah muhammadiyah dalam bidang kesejahteraan sosial. Seluruh prangko diberi tulisan PKO.

Tata kelola muhammadiyah dalam melaksanakan amil zakat, pada 1950 proses penghimpunannya dilakukan oleh Majelis Perbendaharaan yang bersinergi dengan PKO. Tentu saja dalam pekembangannya, kata Ibnu Tsani kajian fikih zakat mulai digiatkan dengan membahas konsep asnaf modern pada Muktamar muhammadiyah ke-36 di Bandung, yang menelurkan putusan bahwa zakat merupakan instrumen keadilan sosial.

Puncak kajian zakat di muhammadiyah kian menggelora setelah diterbitkannya buku berjudul al-Amwal fi al-Islam sebagai hasil muktamar muhammadiyah ke-20 di Garut. Tiga tahun berikutnya menurut Ibnu Tsani merujuk akar historisnya bahwa muhammadiyah menegaskan gerakan filantropinya dengan memunculkan kebijakan tentang Realisasi Gerakan Zakat Muhammadiyah.

Wacana progresif kajian zakat tidak berhenti dalam gerakannya yang berkarakter khas Al-Maun, tapi pada dekade 1970-an beberapa tokoh di Jawa Tengah seperti KH. Abdul Barie Sho’im asal Kendal menulis makalah yang berjudul Zakat Kita: Zakat Yang Direalisasikan, yang dalam perjalanannya di Kendal terbentuklah Badan Penyelenggara Urusan Zakat Muhammadiyah (Bapelurzam).   

Barulah kemudian di tahun 2002, Lazismu resmi menjadi lembaga amil zakat nasional yang secara undang-undang zakat mendapat tugas penghimpunan dan pendayagunaan. Tata kelolanya dikemas lebih modern dengan bertambahnya jumlah amil eksekutif di seluruh Indonesia yang diikuti dengan transformasi brand Lazismu yang tampilannya lebih estetik dan bermakna.

Dari aspek tata kelola, sambung Ibnu Tsani, bahwa Lazismu memiliki rencana strategis (renstra) yang dimulai dari tahun 2021 – 2025. “Inilah dasar rujukan program penghimpunan dan pendayagunaan Lazismu yang berlaku secara nasional dengan 6 pilar programnya yaitu pendidikan, sosial dakwah, ekonomi, kesehatan, kemanusiaan dan lingkungan sebagai program yang realtif baru diawal tahun 2020 muncul sebagai respons dan amanat muktamar muhammadiyah di Makassar tahun 2015, tentang krisis iklim,” tandasnya.  

Beberapa acuan lainnya adalah Lazismu membuat peta jalan (road map) dalam kerangka komunikasi dan pendataan digital dan integrasi yang terus dikonsolidasikan sebagai big data dan mengembangkan ekosistem Lazismu.

Ibnu Tsani mengatakan apa yang termuat dalam indikator kinerja aksi layanan (IKAL), merupakan isi rencana capaian kegiatan yang bisa terukur serta target yang dicapai Lazismu dalam realisasinya secara nasional.

Indikatornya adalah adanya baseline dan target spesifik angka dari renstra yang jadi referensi dan disosialisasikan ke pelaksana dalam kemitraan program Lazismu. Dia menegaskan bahwa Lazismu dalam pelaksanaannya bukan implemantator program tapi menghimpun dan penyalurannya bersinergi dengan mitra. Karena itu Lazismu fokus pada tiga ranah dalam implementasi program yang terdiri dari 6 pilar.

“Fokusnya antara lain telaah proposal dari calon mitra, monitoring dan evaluasi, dan telaah laporan akhir dari mitra sebagai alur kerja dalam konteks penyaluran dan pendistribusian, di mana mitranya dari internal dan eksternal muhammadiyah,” pungkasnya.

Jadi dalam skemanya, lanjut Ibnu Tsani, ada siklus yang berjalan antara lain penghimpunan, penyaluran dan pelaporan. Renstra akan berakhir di 2025, secara konseptual akan dievaluasi untuk bisa dipertahankan atau ada inovasi lain dari pendekatan program.

Sebagi contoh katanya, pilar pendidikan yang mendapat sambutan positif dari masyarakat dan entitas profesional adalah Edutabmu. Program pendidikan yang dikemas dengan inovasi sosial yang didalamnya materi pembelajaran dihadirkan dengan dukungan teknologi digital. Terobosan ini sangat membantu siswa khususnya sekolah dasar dan para guru di muhammadiyah.

Unsur pembelajaran yang ditonjolkan adalah matematika dan Bahasa inggris sehingga memantik ketertarikan proses pembelajaran. Program yang dimulai tahun 2022 sampai sekarang ini diganjar oleh Bapenas sebagai program terbaik kategori filantropi yang mendukung capaian SDGs.

Program ini kata Ibnu Tsani menyasar penerima manfaat sebanyak 3097 peserta didik tingkat sekolah dasar di 54 sekolah dasar dengan sebaran tablet edutabmu sejumlah 825 unit yang meliputi kawasan Sumatera Utara, Bangka Belitung, Lampung, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. 

Tak hanya itu, Lazismu juga menyuguhkan program menarik lainnya di kawasan terluar, terdepan dan tertinggal (3T) dengan menghadirkan Klinik Apung Said Tuhuleley. Dari program ini Lazismu memberikan layanan kesehatan berupa edukasi, pemeriksaan, pengobatan gratis dan khitan.

Terisolirnya kawasan ini di kepulauan Maluku dengan segala keterbatasannya dan berdasarkan informasi dari masyarakat dan penerima manfaat, jangkauan layanan Klinik Apung Said Tuhuleley diperluas dengan layanan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat seperti layanan perbaikan sarana pendidikan dan perbaikan sarana pertanian dan perikanan.  

Lazismu juga bermitra dengan Baznas dalam kolaborasi program yang inilah program kolaborasi dengan Baznas yang manfaatnya dirasakan oleh warga setempat. Lokasi ekspedisinya meliputi pulau ambon, Maluku Tengah, Seram Bagian Timur dan Bagian Barat. Total penerima manfaatnya dari Maret 2022 – Mei 2023 sebanyak 2736 jiwa.  

Merespons capaian Sustainable Development Goals (SDGs), Ibnu Tsani mengatakan bahwa renstra Lazismu adalah komitmen tentang SDGs, jadi bagi Lazismu dan keluarga besar muhammadiyah, SDGs adalah bagian dari Islam Rahmatan lil Alamin. Setiap pilar program ada aspek SDGs sehingga dampaknya bagi Lazismu, Bapenas memberikan penghargaan sebagai pemenang terbaik kategori filantropi.

Kedepannya Lazismu terus berinovasi dengan menyiapkan pilot project pengembangan kawasan berbasis desa, Lazismu melaksanakan ini karena amanat keputusan rakernas Lazismu di Palembang. Satu desa akan kami optimalkan dalam 6 pilar program dan SDGs, yang sampai detik ini sedang proses mewujudkan dan menyiapkan panduan operasionalnya.

Menanggapi hal itu, Pranggono Kusumo yang hadir online dari Kalimantan Utara (Kaltara) mengatakan, bagaimana dengan kehadiran Lazismu di sana. Ini penting sebagai keberadaan Lazismu di Kalimantan Utara yang sampai saat ini masih belum hadir di tengah masyarakat.

Ibnu Tsani menuturkan, di suatu kawasan yang masuk dalam pemekaran secara geografis, perlu pertimbangan matang. Tidak hanya soal sumber daya amil dan kesiapannya, tapi juga segala persyaratannya yang ada sehingga nanti dalam prosesnya tidak mengalami kendala.

Ini kami masih menyiapkan langkah – langkah koordinasinya, mewakili Lazismu kami ucapkan terima kasih atas informasinya dan akan kami koordinasikan lebih matang lagi sebagai tindak lanjut supaya Lazismu bisa hadir di Kaltara.

Peserta yang turut hadir kembali melemparkan pertanyaan soal wakaf kepada Ibnu Tsani. Bagiamana wakaf yang dikelola oleh Lazismu. Ibnu tsani menjawab, pada prinsipnya Lazismu secara legalitas hanya menghimpun dan menyalurkan.  Adapun soal wakaf sudah ada Majelis Wakaf di muhammadiyah.

Dalam beberapa aspek tertentu Lazismu menerima wakaf dari masyarakat. Namun dalam tata kelolanya Lazismu memfasilitasi dengan majelis wakaf muhammadiyah yang secara terstruktur sama dengan Lazismu ada di seluruh wilayah.

Ada layanan wakaf yang statusnya bisa diumumkan Lazismu dan berapa besarannya, ini dilengkapi dengan berita acara yang mekanismenya kami fasilitasi dan sediakan dalam saluran aktivasinya.

Dalam kesempatan itu, Ibnu Tsani menanggapi pertanyaan Latief mengenai sasaran distribusi program Lazismu dan muzaki apakah hanya dari kalangan simpatisan dan warga muhammadiyah. Pada intinya Lazismu bergerak secara terbuka (inklusif). Sasaran muzakinya tidak terbatas pada internal muhammadiyah tapi ada juga yang non muhammadiyah serta korporasi baik level nasional dan multinasional yang menyalurkan dana CSR dan zakat perusahaannya. 

Termasuk dalam penyalurannya, di luar internal muhammadiyah sasaran penerima manfaatnya lebh luas termasuk masyrakat pada umumnya. Ibnu Tsani memberikan contoh di Indonesia Timur, bagaimana muhammadiyah melakukan pendampingan dan layanan di pilar pendidikan yang mayoritas tidak beragama Islam.

Di luar pembahasan di atas, Ibnu Tsani mengakui bahwa dalam proses tata kelola Lazismu tidak semudah yang diduga. Karena Lazismu tumbuh dari bawah yang berbeda dengan lembaga amil zakat di luar ormas.

Luasnya jaringan Lazismu menjadi tantangan tersendiri untuk menemukan jawabannya di kemudian hari, kata Ibnu Tsani. Pekerjaan rumah lainnya adalah bagaimana Lazismu menyikapi generasi Z yang perlu diedukasi soal zakat.

Karena karakter mereka tidak bisa didekati dengan jalur formal, melainkan dengan pendekatan yang lebih luwes salah satunya dengan edukasi konten yang sesuai dengan kebiasaan mereka dalam mengakses informasi di sosial media.

Bahkan temuan riset dari RnD Lazismu, kata Ibnu Tsani, masyarakat mengenal zakat dari masjid dan majelis taklim. Berdasarkan temuan itu, Lazismu sedapat mungkin mengkoordinasikan ke Lazismu tingkat wilayah sampai dengan kantor layanan untuk perlu melakukan edukasi di akar rumput yang berbasis masjid.

Dengan memanfaatkan struktur muhammadiyah yang unik dan berjenjang sampai kantor layanan inilah sosialisasi dilakukan dalam gerakan zakat di muhammadiyah. Potensi masjid karena itu, kata dia, perlu dioptimalkan mengingat masyarakat akan pengetahuan zakatnya masih pada tahap kategori zakat fitrah. “Maka di sinilah peran kantor layanan Lazismu untuk memperkenalkan zakat harta (maal) kepada masyarakat,” tutupnya.

 

[Divisi Komunikasi dan Digitalisasi Lazismu PP Muhammadiyah