16 MINGGU GERAKAN ZAKAT NASIONAL; MULAI DARI MUZAKKI PEREMPUAN UNTUK MUSTAHIK PEREMPUAN KORBAN (MINGGU KE-11)

Ditulis oleh Doddy
Ditulis pada 12:54, 08/11/2021
Cover 16 MINGGU GERAKAN ZAKAT NASIONAL; MULAI DARI MUZAKKI PEREMPUAN UNTUK MUSTAHIK PEREMPUAN KORBAN (MINGGU KE-11)
JAKARTA -- Dalam diskusi ke 11 rangkaian "16 Minggu Gerakan Zakat Nasional; Mulai dari Muzakki Perempuan untuk Mustahik Perempuan Korban" yang berlangsung pada Jum'at (05/11), beberapa anak muda menyampaikan pandangannya terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak. Para anak muda tersebut antara lain Nuruts Tsani Thohuroh, Ma’rifatul Hikmah, dan Junarti. Bertindak sebagai moderator adalah Anastasia Maulina Malik. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan Jakarta bersama Komunitas ‘Aisyiyah ITB Ahmad Dahlan Jakarta ini mengangkat tajuk "Bedah Buku 'Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak'; Perspektif Orang Muda", bertempat di Ruang Sjahrir Nurut sekaligus pengajian rutin Komunitas 'Aisyiyah.

Nuruts Tsani Thohuroh mengatakan bahwa buku yang ditulis oleh Yulianti Muthmainnah ini banyak membeberkan hal-hal yang berada di lingkungan sekitar kita terkait kekerasan dan berangkat dari pengalaman yang panjang penulis dalam ranah advokasi bagi para korban. "Korban mengalami stigmatisasi, disalahkan karena dianggap lenjeh, pakaian terbuka. Padahal pelakunya rata-rata adalah orang-orang terdekat korban," katanya.

Tsani juga menyayangkan anggapan masyarakat yang memandang pelaku kekerasan sebagai orang penting, setelah selesai menjalani hukumannya dan keluar dari penjara malah disambut bak pahlawan, sambutan meriah, tanpa mempertimbangkan perasaan korban. "Korban menjadi kaum yang termarjinalkan, korban mendapatkan diskriminasi, korban masih mengalami trauma berat. Padahal korban harusnya bisa memulai hidup baru. Untuk korban kaya, mungkin bisa mengakses rehabilitasi di tempat layak. Bagaimana dengan korban orang miskin? Bagaimana akses pemulihan bagi korban? Inilah yang harus kita bangun, bentuk empati kita bagi korban. Maka, zakat kita penting membebaskan mereka, para korban yang mengalami musibah besar dalam hidupnya. Zakat kita untuk membela sesama Muslimah," ungkapnya.

Ia berharap agar kehadiran buku ini dapat menjadi bagi para korban. "Terima kasih untuk Ka Yuli yang telah menerbitkan buku ini, karena telah memberikan makna yang penting dalam pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara, terutama dalam  mengakses keadilan, semoga buku ini membuat korban berani mengungkapkan kasusnya di depan meja hijau dan kita bisa menggalang zakat bagi korban," harap Tsani.

Ma’rifatul Hikmah yang akrab disapa Rifa juga mengemukakan pendapatnya. Menurutnya, kasus kekerasan ini sangat memilukan hati, namun sayangnya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak memang kurang banyak mendapat perhatian. "Tema ini sangat sensitif," tegasnya.

Rifa menambahkan, korban acap kali mengalami trauma panjang dan merasa tidak memiliki harapan untuk masa yang akan datang. "Banyak orang yang mengalami kekerasan, dalam pacaran, dalam hubungan perkawinan. Saya menghimbau, teman-teman yang belum menikah agar mencintai diri sendiri, berani ngomong tidak," imbuhnya.

Rifa menilai kasus incest di Indonesia juga tak kalah banyaknya dan ini memang benar adanya. Ia menjelaskan, "Ada juga kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan, pelaku perempuan yang menjebak teman perempuannya sehingga temannya sendiri dikorbankan diperkosa ramai-ramai."

Terakhir, Rifa pun memberikan apresiasinya kepada penulis buku ini. "Melalui buku ini, Kak Yuli memberikan solusi zakat untuk para korban. Bila pelaku suami, dan suami pencari nafkah dalam keluarga, maka di sinilah zakat itu penting agar ekonomi keluarga itu terus berjalan. Mari sisihkan sedikit rezeki kita untuk para korban kekerasan terhadap perempuan dan anak," pungkasnya.

Sementara itu Junarti merasa tercerahkan setelah membaca buku ini. Sebelumnya, ia beranggapan bahwa sang istrilah yang menjadi biang atau sumber KDRT, karena istri umumnya cerewet dan suami sabar. Padahal kenyataannya bukan begitu, memang tempramen pelaku, suamilah yang menyebabkan KDRT, tidak ada kaitannya dengan istri. Karena banyak juga yang istrinya diam, sabar. Ia lalu mencontohkan kisah seorang ustadzah.   

“Saya sempat berfikir kalo iman kita kuat maka kita tidak dapat KDRT, tetapi saya menemukan bahwa seorang ustadzah saja bisa menjadi korban KDRT, padahal pegangannya Al-Qur’an. Ustadzah ini menjadi korban KDRT selama 20 tahun, tetapi menikmatinya dan menganggap ini ujian Allah, semua akan berlalu. Ia berpikir suami akan berubah bila sabar dan diam. Ia berusaha mempertahankan rumah tangganya dan tak mau bercerai. Kejadian ini mengajarkan saya KDRT itu ada, nyata, apalagi ini suaminya juga seorang ustadz," ungkapnya.

Menurutnya, menceritakan masalah yang kita alami kepada seseorang menjadi hal yang wajar saja asalkan orang tersebut dapat dipercaya dan bukan termasuk kategori mengumbar aib keluarga. Ia pun memberikan dukungannya kepada buku tersebut. "Buku ini memudahkan saya memahami kasus-kasus yang terjadi dengan kasus yang didampingi Kak Yuli selama bertahun-tahun ini. Kasus-kasus ini digambarkan melalui film-film sehingga memudahkan bagi pemula seperti saya untuk mengetahui kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Saya berharap, buku ini bisa menjadi rujukan kebijakan. Sebelumnya saya pikir, kok bisa ya korban masuk jadi penerima zakat. Setelah saya baca, ternyata korban memenuhi empat golongan, yakni fakir, miskin, riqob, fisabililah," jelasnya mendukung isi buku.

[PR Lazismu PP Muhammadiyah]