16 MINGGU GERAKAN ZAKAT NASIONAL; MULAI DARI MUZAKKI PEREMPUAN UNTUK MUSTAHIK PEREMPUAN KORBAN (MINGGU KE-13)

Ditulis oleh Doddy
Ditulis pada 10:56, 11/11/2021
Cover 16 MINGGU GERAKAN ZAKAT NASIONAL; MULAI DARI MUZAKKI PEREMPUAN UNTUK MUSTAHIK PEREMPUAN KORBAN (MINGGU KE-13)
JAKARTA -- Rangkaian diskusi buku "Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak" telah memasuki pekan ke-13 pada Sabtu (6/11). Diskusi yang dilakukan secara daring kali ini yang digagas oleh Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) ITB-AD Jakarta dan Lazismu dengan menggandeng STIQSI Lamongan, Jawa Timur. Narasumber yang hadir adalah M. Arwani Rofi'i (Kaprodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir STIQSI Lamongan), Luthfi Hadi Aminuddin (Dekan FEB IAIN Ponorogo), Yuke Rahmawati (Sekprodi Perbankan Syariah UIN Jakarta), dan Yulianti Muthmainnah (Ketua PSIPP ITB AD Jakarta). Bertindak sebagai moderator kali ini adalah Ega Maulida Najid.

Sutia Budi selaku Wakil Rektor ITB AD Jakarta saat memberikan sambutan menyebutkan beberapa hal yang perlu diupayakan dalam rangka membangun tata kelola kampus untuk mewujudkan ide-ide yang disampaikan oleh PSIPP. Menurutnya, PSIPP telah banyak menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang berfokus pada isu-isu perempuan, terutama penghapusan kekerasan pada perempuan dan anak.

"Kami di internal memikirkan bagaimana ke depan membenahi tata kelola Lazis atau LAZ yang ada, agar diskusi ini langsung ke tataran aksi, bahwa LAZ yang ada di ITB Ahmad Dahlan juga punya concern untuk membantu korban kekerasan terhadap perempuan dan anak. Jadi, PR pimpinan dan segenap pengurus Lazis yang ada di ITB Ahmad Dahlan, saya pikir bagaimana membumikan ide-ide yang disampaikan, yang diketengahkan oleh PSIPP," ungkapnya.

Ketua STIQSI Lamongan, Piet H. Khaidir menilai kolaborasi menjadi kunci di era saat ini dalam berlomba berbuat kebajikan. Barang tentu, ide dan upaya untuk memberantas kekerasan terhadap perempuan dan anak akan sulit terwujud jika hanya dilakukan oleh sekelompok kecil saja. "Kita hari ini bisa bersama-sama berkolaborasi. Memang kata kunci hari ini itu kolaborasi, tidak bisa sendiri-sendiri. Kolaborasi ini luar biasa, Alhamdulillah, kita lakukan melalui bedah buku yang temanya sangat timely dan temanya ini sangat penting. Dan menurut saya, baru ini dalam pengertian sebagai tema bahwa ada zakat untuk korban kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ini perlu kita diskusikan secara serius," ujarnya kala memberikan sambutan kedua.

Ia menilai, wacana yang coba digulirkan di dalam buku maupun diskusi ini merupakan ide yang cemerlang. Harapannya adalah kegiatan ini bisa dilaksanakan secara berkelanjutan. "Ini acara yang luar biasa. Ide yang dibuat dan kemudian menjadikan karya yang luar biasa dari sahabat kita semua, Mbak Yulianti Muthmainnah ini adalah buku yang dahsyat sekali," apresiasinya.

Yuke Rahmawati, Sekprodi Perbankan Syariah UIN Jakarta membeberkan potensi-potensi yang bisa dioptimalkan dalam rangka membantu korban kekerasan melalui zakat saham. Menurutnya, dalam penyaluran zakat saham ini tidak ubahnya dengan model zakat pada umumnya. "Ada jalan baru untuk membangun dana zakat ini bagi kelompok-kelompok masyarakat yang kemudian menjadi korban kekerasan," paparnya.

Lebih lanjut Yuke menyebut bahwa zakat saham sangat bisa dialokasikan bagi korban kekerasan. Untuk menyiapkan hal itu, literasi soal zakat saham menjadi penting untuk dikuasai khususnya bagi perempuan-perempuan sehingga bisa bekerja dari rumah seperti berinvestasi dan sebagainya. "Perempuan itu bisa mengembangkan kekayaan, baik kekayaan dirinya maupun kekayaan keluarganya. Di sisi lain, juga dia mampu memberikan kontribusi kepada masyarakatnya dengan hasil dari usahanya itu," cetusnya.

Persoalan zakat juga tak luput dari berbagai problem, di samping memiliki berbagai potensi-potensi yang bisa dijadikan sebagai ladang garapan. Dalam catatan Dekan FEB IAIN Ponorogo, Luthfi Hadi Aminuddin, terdapat dua problem dalam pengelolaan zakat, yaitu problem teoritis dan problem praktis. Luthfi mengamati, problem teoritis merupakan anggapan masyarakat (Islam) bahwasannya makna dari delapan asnaf zakat itu sudah final dan tidak bisa diganggu-gugat. Dengan kata lain, makna asnaf itu dipahami sebagaimana pemahaman masa lampau tanpa berupaya mengontekstualisasikannya dengan zaman sekarang. "Harta-harta yang dikenakan objek zakat itu masih banyak masyarakat umat Islam yang memandang sebagai sesuatu yang sudah final. Objek zakat itu menurut saya dinamis," tegasnya.

"Sedangkan problem praktisnya, implementasinya seperti yang dikeluhkan oleh Mbak YulMut dalam buku ini. Betapa saya sangat iba, ya ketika Mbak YulMut bercerita, ketika menawarkan bagaimana korban-korban kekerasan terhadap perempuan itu tidak mendapatkan dukungan. Bahkan ada beberapa lembaga zakat yang harus menolak karena mereka dianggap tidak masuk dalam delapan asnaf. Itu kan miris sekali. Ironi sekali menurut saya," ungkap Luthfi.

Dengan tegas dan kritis, Luthfi kemudian menyatakan "Tidak ada alasan yang bisa dibenarkan untuk kemudian para BAZ, LAZ menolak memberikan alokasi untuk advokasi korban kekerasan perempuan dan anak ini. Menurut saya, bukan hanya empat indikator, ketujuh indikator asnaf, kecuali amil, sebenarnya bila mereka korban kekerasan maka sesuai yang diusulkan Mbak YulMut dalam buku ini."

Senada Luthfi, M. Arwani Rofi'i selaku Kaprodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir STIQSI Lamongan mengapresiasi gagasan-gagasan yang dimunculkan dalam buku ini, karena fikih zakat yang terus berkembang. Namun, ia memiliki pendapat yang berbeda terkait perempuan yang katanya berasal dari tulang rusuk laki-laki, sedangkan dalam buku disebutkan perempuan bukan dari tulang rusuk laki-laki, sebagaimana yang juga diulas dalam buku ini. Walaupun Arwani setuju dengan gagasan zakat bagi korban. "Saya setuju dengan pendapat-pendapat ini, karena fikih zakat terus berkembang," ucapnya.

Sebagai penutup, Yulianti Muthmainnah sebagai penulis buku yang juga Ketua PSIPP ITBAD Jakarta sangat menyayangkan perlakuan masyarakat terhadap korban kekerasan. Ia mengatakan, perempuan yang menjadi korban kekerasan sering dikucilkan, padahal semestinya mereka itu didukung agar bisa bangkit.

"Pengalaman reproduksi perempuan yang lebih panjang dan berbeda dengan laki-laki yang singkat inilah yang diharapkan bisa menjadi empati, kekuatan, supaya bisa saling mendukung terhadap perempuan korban. Di sisi lain, perempuan korban itu adalah pihak yang sangat terpuruk dalam struktur sistem masyarakat kita, sehingga dana zakat harus menjadi problem solving," terangnya. Ia menambahkan, "Kesalahan ini kemudian bisa jadi berangkat dari paradigma agama/struktur di masyarakat kita yang bias gender."

Selain itu, Yuli juga membeberkan pertanyaan utama dari masyarakat terkait isi buku yang ditulisnya. Pertanyaan utama dari masyarakat adalah apakah terdapat asnaf baru sehingga zakat bisa diberikan kepada korban kekerasan terhadap perempuan dan anak. "Saya mengatakan ini bukan asnaf baru, tetapi saya membuat, mengkaji, menilai bahwa setidaknya ada empat indikator asnaf yang itu bisa masuk dengan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak," terangnya. Menurutnya, empat indikator yang paling dekat itu adalah fakir, miskin, riqab, dan fisabilillah.

[PR Lazismu PP Muhammadiyah]