Berangkat Dari Potensi Lokal, Lazismu dan Madani Berkelanjutan Ajak Masyarakat Kelola Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim
JAKARTA – Manusia sebagai mandataris di muka bumi memiliki tugas untuk memakmurkan bumi. Mengurus dan mengelola bumi dari kerusakan merupakan sikap antisipatoris untuk keberlangsungan generasi selanjutnya. Perubahan iklim sebagai sunatullah adalah takdir yang bisa diubah dengan langkah mitigasi.
Dalam sesi pengantar workshop dampak perubahan iklim dan peran Lazismu, di Jakarta, 3 Agustus 2024, Sofa dari Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menyampaikan dampak perubahan iklim harus disadari dengan sikap bahwa dalam ajaran islam takdir perlu dipahami dengan ikhtiar penuh.
“Takdir bisa dalam arti suatu hal yang diterima dengan ikhlas dan takdir yang bisa dimaknai dengan ikhtiar untuk bisa mengubah agar manusia tidak kehilangan kreatifitasnya,” jelas Sofa.
Mengenai dampak perubahan iklim, Sofa mengatakan hubungan manusia dengan manusia tidak sekadar manusia dalam makna yang utuh. Tapi di dalam hubungan manusia dengan manusia juga bermakna bagaimana hubungan manusia dengan alam.
“Alam semesta itu untuk manusia. Kerusakan alam yang terjadi juga disebabkan oleh manusia yang berdampak kepada anak cucu kita dan berdampak juga oleh pelakunya,” pungkasnya.
Jangan sampai anak generasi selanjutnya mengetahui Nyiur Melambai hanya dalam lirik lagu. Faktanya pantai menjadi gersang dan tidak ada tanaman, kondisi itu menyedihkan.
Kesadaran umat Islam tentang perubahan iklim yang dipahami sebagai takdir harus dilihat lagi maknanya sebagai sesuatu yang bisa diubah dalam arti bisa dimitigasi. Ada proses pencegahan jika sudah diketahui dampaknya, kata Sofa.
Musyawarah nasional Majelis Tarjih tahun 2020 adalah munas terlama sepanjang sejarahnya di persyarikatan Muhammadiyah. Dalam munas itu Sofa bercerita yang diawali dengan pra munas dengan topiknya pengembangan putusan tarjih berkenaan dengan salat Istosqo dan perubahan iklim.
Curah hujan yang tidak pasti dan kemarau yang panjang memicu ikhtiar untuk melakukan salat Istisqo dan doa. Dalam diskusi seputar perubahan iklim tersebut pada akhirnya muncul istilah dosa ekologis. Karena ada istilah dosa ekologis yang berangkat dari kerusakan alam salah satunya akibat dosa manusia.
“Memahami dosa dan maksiat itu hanya seperti apa yang kita pahami. Jadi dikaji kembali maka ada istilah dosa ekologis,” jelasnya. Karena kemarau panjang itu sunatullah maka bisa dipelajari dan bisa dihitung secara saintifik. Kemudian topik itu berkembang dan menghasilkan produk kajian tarjih berupa Fikih Air dan Fikih Kebencanaan.
Rumusan dari dokumen produk tarjih tersebut, sambung Sofa, salah satu intisarinya memberikan dasar teologis yang kuat bagi seorang muslim agar bersikap terhadap perubahan iklim. Selanjutnya, Fikih Kebencanaan menyajikan suatu sikap bagi seorang muslim untuk bersungguh-sungguh merespons perubahan iklim dan dampaknya dengan mitigasi bencana.
“Dari sini sebetulnya bisa menjadi panduan moral dan etik yang melahirkan kerangka dasar yuridis. Prinsip universal sebagai kaidah digunakan untuk tolok ukur menyusun regulasi dan membuat program yang konkret misalnya dalam tata kelola air dan lainnya,” tandasnya. Maka keterlibatan publik dan penyusunan skala prioritas dalam merespons dampak perubahan iklim adalah signifikan.
Merespons paparan yang disampaikan Sofa dari Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, dalam kesempatan itu, Deputy Derector Madani Berkelanjutan Giorgio Budi Indrarto, mengatakan, memandang perubahan iklim di kalangan umat Islam saya optimis mitigasi dan adaptasi akan bisa dilakukan.
Karena dalam kajian dampak perubahan iklim untuk mengelola mitigasi dan adaptasinya membutuhkan biaya yang sangat tinggi. “Butuh banyak bantuan, masyarakat Indonesia dikenal dermawan bahkan bisa memberikan bantuan untuk diri kita sendiri,” katanya.
Yang menarik sebagai catatan, ketika ada dana tapi bingung akan melakukan apa. Tanam pohon dan lainnya baru sebatas permukaan dalam merespons dampak perubahan iklim. “Lebih relevan ketika berpikir preventif dalam konteks dampak perubahan iklim. Indonesia sudah banyak target di sektor lahan dan hutan, untuk sektor energi kita mau seperti apa model energinya di Indonesia,” tuturnya.
Dalam Islam seperti disampaikan Majelis Tarjih dan Tajdid, seperti melihat sebuah kode, kata Giorgio. Ada semacam rambu-rambu yang harus dimaknai, misal ketika ingin bicara energi terbarukan, ini penting kita dalami dalam konteks perubahan iklim. Dari sisi halalnya sudah dikaji, tapi dari sisi kebaikannya itu yang perlu digali kembali.
Secara zat sumber – sumber daya alam itu halal, tapi bagaimana cara memperolehnya. Saatnya sekarang umat islam bisa menunjukkan bahwa ini cara kita bertransisi dalam suatu kondisi ke kondisi yang lain. Cara pandangnya harus berbeda dengan negara yang menyajikan suatu kebijakan, katanya. Ketika gagal menuju perubahan yang diinginkan maka akan jadi ujian yang besar.
“Dalam konteks perubahan iklim ada banyak potensi, seperti fikih air, ini yang kita jadikan sebagai sebuah tantangan dan kita tidak dikatakan sebagai kelompok orang yang menepak air tapi mengenai muka sendiri,” terangnya.
Giorgio menuturkan Indonesia harus mengejar capaian itu dalam SDGs dan berangkat dari potensi lokal ini akan ada harapan bahwa Lazismu yang berkolaborasi dengan jaringan Muhammadiyahnya, tadi ada Muhammadiyah Climate Changes (MCC) dan Majelis Lingkungan Hidup (MLH), maka kita harus sering banyak diskusi. “Ada kesempatan untuk bertemu dan berkolaborasi, dan apa yang bisa kita jadikan sebagai suatu inovasi sosial,” pungkasnya menutup sesi pengantarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan, dalam kesempatan itu mengatakan, apa yang disampaikan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dengan kajian dan teorinya secara nyata dari semua yang kita lakukan praktiknya harus memikirkan bagaimana dampaknya bagi kita semua terhadap lingkungan.
“Ini bukan persoalan main-main, dampak perubahan iklim yang kita rasakan sudah sangat terasa. Dan takdir harus bisa diubah, tidak bisa membiarkan praktik yang mengabaikan kelestarian lingkungan yang dampaknya akan dirasakan anak cucu kita. Kita tidak boleh meninggalkan bumi dan lingkungan yang sulit dihuni oleh anak cucu kita karena dampak perubahan iklim,” tandasnya.
Dampak perubahan iklim, lanjut Nadia Hadad, sudah menjadi misi Madani Berkelanjutan dalam mendorong dan membantu pemerintah untuk dapat melaksanakan kewajiban itu. Negara harus mengeluarkan kebijakan yang melestarikan lingkungan, Namun kebijakan itu belum mengarah ke sana dan belum maksimal.
Yang bisa kita lakukan sekarang ini, sambung Nadia Hadad, mengajak publik bersama masyarakat menyadarkan masyarakat untuk melakukan upaya yang lebih jelas dan berdampak untuk benar-benar menjaga lingkungan. Kita sadar masih ada yang belum bisa melestarikan lingkungan, seperti yang disampaikan Tarjih, tutupnya.
[Kelembagaan dan Humas Lazismu PP Muhammadiyah]