Menyelami Kerangka Kerja Logis, 9 Hari Melantai Di Pelatihan Program Kampung Berkemajuan

Ditulis oleh berita
Ditulis pada 17:21, 31/07/2024
Cover Menyelami Kerangka Kerja Logis, 9 Hari Melantai Di Pelatihan Program Kampung Berkemajuan

JAKARTA – Pagi itu, selepas sarapan pagi, di Hotel Cemara (28 Juli 2024), Menteng, Jakarta, peserta Workshop kembali ke ruangan mendiskusikan rangkaian aktivitas sebelumnya tentang praktik asesmen Kampung Berkemajuan. Selama tiga jam peserta dan fasilitator saling bertukar pikiran, wawasan (insight) apa yang diperoleh setelah melakukan praktik asesmen pada hari Sabtu, di Kampung Marunda, Jakarta Utara.

Urusan aktivitas peserta akan melakukan apa disampaikan Adtya Rizki Nugroho bahwa untuk hari minggu peserta akan dibawa ke Kampung Sumur, Klender, Duren Sawit Jakarta Timur. Mereka akan kembali praktik asesmen di komunitas pemulung untuk mencari data sebagai bahan informasi.

Sejak tanggal 25 Juli 2024, pasca materi pengenalan tentang Inovasi Sosial Kampung Berkemajuan Berbasis Kawasan, amil Lazismu yang berasal dari Lazismu Wilayah Jateng, Jatim, Jabar, DIY, dan Lampung, terlibat aktif menyelami Workshop Panduan, Pelatihan LFA dan Asesmen Program Kampung Berkemajuan Inovasi Sosial Berbasis Kawasan.

Materi sharing session disajikan gambit oleh Ardi Lutfi Kautsar, Adityan Reffiyanto dan Muhammad Sholeh Arfarabi. Ketiganya berbagi pengalaman bagaimana merencanakan suatu program ketika Lazismu dan Baznas berkolaborasi dalam jejak kebajikan di kabupaten Maluku, Banggai dan Banten.

Program kebajikan zakat yang mentas di tiga lokasi tersebut, dilakukan oleh tiga orang amil Lazismu memuat unsur yang sama bagaimana kerangka kerja logis program diimplementasikan. “Pendekatan berbasis isu dan pendekatan alur digunakan untuk data awal,” kata Ardi.

Melengkapi paparan Ardi, Program Kebajikan Zakat Wilayah Maluku 2021 – 2023 yang lalu, bagi Reffiyanto merupakan langkah awal bagaimana menemukan akar masalah. Menggunakan survei indeks desa, dan penilaian lokasi desa secara cepat dan partisipatif (Rapid Rural Appraisal/RRA), terkait kebutuhannya, lanjut dia, juga disiapkan secara bersama-sama cara menyelesaikan masalahnya.

Hal itu dilakukan sekaligus melakukan sosialisasi dan menentukan calon penerima manfaat program yang direncanakan. Hal senada disampaikan Alfarabi, namun yang perlu menjadi pertimbangan, bisa saja diawal perencanaan sudah matang dengan datanya, lalu saat kaji cepat di lapangan berbeda antara yang seharusnya dengan senyatanya.

Misalnya, kata Alfarabi, kita sudah merencanakan untuk memberikan beasiswa, faktanya di lapangan ternyata sekolah gratis. “Hanya saja mereka penerima manfaat tidak memiliki sepatu, seragam, dan jarak rumah ke sekolah jauh. Jadi, ternyata perencanaan terlalu matang tanpa kaji cepat juga ternyata keliru,” bebernya.

Sekelumit pengalaman dari Ardi Lutfi Kautsar, Adityan Reffiyanto dan Muhammad Sholeh Arfarabi, merupakan informasi berharga bagaimana kerangka kerja logis dilakukan dalam suatu program dengan durasi yang cukup panjang. Selain dikaitkan dengan suatu tipologi lokasi yang dituju, metodologi asesmen dalam panduan itu menjadi signifikan sebagai cara pandang membuka jalan mengenal penilaian suatu program.

Mengenal Metodologi Asesmen

Fasilitator pelatihan dan panduan LFA Kampung Berkemajuan Berbasis Kawasan, Barry Aditya, yang memiliki teknik metodologi asesmen, mencatat bahwa metodologi itu berperan dalam proses penggalian informasi yang dikumpulkan lalu dilakukan penilaian informasi tentang suatu informasi tertentu yang ingin diperoleh.

Tidak perlu terkejut, ungkapnya. Alurnya akan disesuaikan dengan kondisi di ruangan ini. Sebelum tiba di metodologi asesmen, kita akan mulai dengan tahapan menemukan akar masalah sosial. “Wilayah dan daerah sudah membawa inovasi sosial apa atau baru mau melakukan apa,” katanya mendampingi peserta.

Gambaran sederhananya, kata dia, inovasi sosial yang dilakukan untuk meningkatkan nilai (value). “Kita akan melihat apakah ada ciri tertentu tidak untuk inovasi sosial ? Apakah ada indikatornya,” kata Barry Aditya.

Dalam asesmen ini, hal yang meliputi data awal, identifikasi, analisis, penilaian, survei, pengumpulan data, verifikasi, validasi, pengumpulan data, refleksi, pendataan, survei lokasi, dan pencarian informasi lainnya, paling tidak ada enam tahapan antara lain: proses mencari solusi dan ide pemecahan masalah, tahapan uji coba, keberlanjutan program, peningkatan skala program dan terciptanya perubahan yang sistematis.

Seperti disampaikan Barry Aditya, kira-kira waktu akan melakukan penilaian apa saja patokannya dari keenam tahapan tersebut. Kita akan membayangkan sesuatu apakah akan terjadi di awal atau sebetulnya saat membayangkan hal itu sudah ada tujuan sebelumnya. “Atau melakukan asesmen belum ada yang dipikirkan, atau sudah ada yang dibutuhkan untuk warga,” pungkasnya.

Mind Mapping, Story Telling yang Bermakna

Dalam kesempatan berbeda, fasilitator lainnya Widyanto Muttaqien mengatakan dengan pendekatan kaji cepat (rapid appraisal) nanti akan ada kerangka kerja logis di dua tempat. “Pertama di kampung nelayan, Marunda, yang menjadi bagian dari dampingan lazismu. Di kampung ini ada nelayan pesisir yang kehidupannya tidak punya sama sekali tempat tinggal, ada sekitar 200 KK yang tinggal sementara. Mereka di bantaran banjir kanal timur, dalam pelatihan ini untuk melihat apa yang dihadapi oleh masyarakat yang kondisinya seperti itu,” katanya.

Di Marunda, awalnya menggunakan teknik kuesioner tapi diganti dengan teknik penggalian informasi dengan tanya jawab secara efektif-kreatif (mind mapping). Penggalian informasi menjadi lebih hidup dan kaya, karena masyarakat bercerita. “Pelatihan 1 hari dengan penggalian data 3 jam akan semakin hidup di banding kuisioner yang kaku dan satu arah,” imbuhnya.

Lokasi kedua, lanjut Widyanto berada di kompleks Yayasan Swara Peduli Indonesia yang menjadi mitra Lazismu. Yayasan ini memiliki urban farming, melon ditanam di green house dan berjalan cukup lama dan panen beberapa kali. Di sini warganya kebanyakan pemulung, lahannya bukan milik mereka tapi lahan yang diokupasi karena tidak ada tempat tinggal.

Informasi yang digali ceritanya akan banyak bagaimana sejarah orang yang tinggal di lahan ini. Yang ditekankan di sini, Baik Lazismu maupun muhammadiyah, ada dua kegiatannya yaitu pengasuhan anak dengan membuat PAUD, plus pendidikan alternatif di luar pendidikan formal.

Program yang ada di sini adalah dakwah dan lainnya penghijauan kampung kemudian ada juga pada program mengelola sampah dan terkahir membuat bio septik tank dengan hasil produknya berupa biogas.

Dengan teknik yang sama, kata dia, ada pembelajaran bahwa pada lini masa, sejarah dan kronologi waktu apakah ada hubungan relasi yang terjadi di sini dari aspek sosial dan ekonomi. Kita pelajari di sini dan bagaimana dengan relasi kekuasan dalam arti kebijakan publik.

Selanjutnya sejak awal selama 9 hari ini, setiap urutan materi kita rakit yang tujuannya membuat Lazismu di daerah memiliki program Kampung Berkemajuan. Ini harus ada baseline, yang akan digunakan untuk membuat suatu program.

Dengan diperolehnya data secara kuantitatif dan kualitatif, yang dilengkapi cerita dan tuturan warga (story telling), begitu sangat berharga. Karena ada informasi yang belum dan telah dilakukan warga. “Opsi-opsi ini yang akan dihitung risikonya bagaimana jika program ini mengalami kemandegan, dan mitigasinya seperti apa untuk dicari solusinya,” jelasnya.

Dari data ini akan digunakan untuk mitigasi risiko dalam kerangka kerja logis dan akan kita hubungkan dengan asumsi risiko dan kebijakan negara. Misalnya terkait dengan pendanaan program seperti apa. Kondisi yang tidak bisa diintervensi oleh Lazismu misalnya kebijakan publik. Artinya tidak serta merta risiko menjadi hilang tapi jadi tantangan bersama dengan memperhitungkan mitigasi dan risiko.

Mengapa latihan LFA ini menjadi penting dan signifikan, jadi sedari awal disusun berdasarkan tujuan, kemudian ada yang tujuan khusus, yang sebenarnya didapat dari data konkret di lapangan untuk mengenal akar masalah. “Akar masalahnya harus ada solusi yang tidak ke mana mana untuk diselesaikan. Prinsipnya dengan cara program khusus untuk menyelesaikan akar masalahnya,” tegasnya.

Selanjutnya, setelah selesai dalam bentuk tujuan program baru disusun programnya. Jadi LFA, kata dia, tidak berangkat dari hubungan yang tidak ada masalah. Sudah relevan atau tidak dengan tujuan tersebut, baru menyusul tujuan lain dari yang umum. Amil Lazismu dari pelatihan ini lalu dapat merumuskan urutannya jika aktivitasnya sudah jelas baru diturunkan dengan anggaran dan agenda waktu (timeline). Risiko ini akan dihitung dengan LFA, tutupnya.

[Komunikasi dan Digitalisasi Lazismu PP Muhammadiyah]