Mewujudkan Kolaborasi Perguruan Tinggi dengan Lembaga Filantropi

Ditulis oleh Super Admin
Ditulis pada 08:51, 28/10/2021
Cover Mewujudkan Kolaborasi Perguruan Tinggi dengan Lembaga Filantropi
Sektor pendidikan adalah sektor yang terdampak pandemi covid-19. Gempuran pandemi membuat sebagian keluarga tidak mampu mebiayai pendidikan anak-anaknya. Di sisi lain, lembaga filantropi relatif bisa bertahan dari gempuran pandemi. Sehingga, lembaga filantropi idealnya bisa membantu pendidikan agar tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Salah satu poin dalam Arah Kebijakan dan Strategi Penguatan Perguruan Tinggi yang dikeluarkan oleh Bappenas menyebut bahwa Perguruan Tinggi harus mulai melakukan pengembangan dana abadi (endowment fund) dan pengembangan filantropi.

Sayangnya, menurut Direktur Utama Lazismu PP Muhammadiyah Sabeth Abilawa, belum banyak kampus di Indonesia yang melakukan dua hal tersebut. Padahal, di kampus-kampus besar dan tua di dunia telah menggunakan dana abadi untuk membiayai operasional pendidikannya, seperti Universitas Al-Azhar Kairo, Harvard, Oxford, dan Cambridge.

Dalam hal ini, Perguruan Tinggi Muhammadiyah di seluruh Indonesia dan juga di luar negeri memiliki potensi yang besar untuk mulai menggunakan sistem wakaf tunai atau dana abadi untuk membiayai operasional pendidikan. Besarnya aset dan wakaf yang dimiliki oleh Muhammadiyah bisa saja digunakan untuk pengembangan dana abadi.

Ada kolaborasi pentahelix lima sektor yang menurut Sabeth harus dilakukan untuk memajukan perguruan tinggi, yaitu sektor perguruan tinggi itu sendiri, sektor industri, sektor filantropi, pemerintah, dan masyarakat. Sektor filantropi tidak bisa ditinggalkan untuk pengembangan dan kolaborasi perguruan tinggi. Filantropi memiliki potensi dana 346 triliun rupiah. Sedangkan yang bisa dikelola baru sekitar 50 triliun. Di sisi lain, sektor filantropi juga lebih bisa bertahan di tengah pandemi.

Hasil survei Lazismu tentang Dampak Sosial Ekonomi Covid-19 Terhadap Perilaku Berderma Masyarakat tahun 2021 menyebut bahwa meskipun pendapatan masyarakat menurun, namun semangat berderma masyarakat tidak menurun.
Belakangan muncul model crowdfunding digital yang begitu besar seperti Kitabisa. Percepatan sektor filantropi ini semakin menggembirakan dunia filantropi, dan membuat pelaku filantropi semakin optimis bahwa ia memiliki potensi yang sangat besar.

Di dalam filantropi ada tiga level, yaitu karitatif (sekedar sumbangan), empowering (pemberdayaan), dan advokasi. Karitatif biasanya berbentuk pemberian beasiswa. Empowering biasanya berbentuk bantuan modal untuk pelaku UMKM dengan pendampingan dan pembinaan. Sedangkan advokasi bisa digunakan untuk mendanai riset-riset yang memiliki luaran perubahan kebijakan. Hal ini masih jarang dilirik oleh perguruan tinggi. Padahal, ia bisa mendanai pendidikan dan riset.

Tri Dharma perguruan tinggi harus melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas, yang bisa diserap secara maksimal oleh industri sehingga bisa berdampak terhadap kesejahteraan. Maka perlu adanya keterkaitan antara riset, perguruan tinggi, dan kewirausahaan.

Di Lazismu misalnya, ada skema call for proposal untuk tema-tema riset kemiskinan, ketahanan pangan, mitigasi dan resiliensi bencana, resolusi konflik, dan lain-lain. Lembaga filantropi harus memiliki alokasi pendistribusian dana untuk riset.

Perguruan tinggi juga bisa mengirim mahasiswa untuk magang atau praktik kerja di lembaga filantropi yang ada di Indonesia. Sehingga, setelah lulus, mahasiswa tidak hanya memiliki pengetahuan yang mekanis, namun juga memahami relasi sosial di masyarakat, ketimpangan, dan lain-lain.

(Yusuf)