Talkshow Beasiswa Tugas Akhir, Lazismu Prioritaskan Program Pendidikan untuk Indonesia Emas
YOGYAKARTA – Pasca peluncuran Beasiswa Tugas Akhir, Lazismu dan Pusat Studi Muhammadiyah menggelar Talk Show (8/7/2024). Acara yang dikemas dengan diskusi pendidikan mengusung tema: “Muhammadiyah Menyongsong Indonesia Emas 2045: Ikhtiar Muhammadiyah Dalam Pemerataan Akses Pendidikan di Indonesia”
Acara Talk Show dipandu oleh Muhammad Iqbal Khatami selaku Peneliti Pusat Studi Muhammadiyah, menghadirkan narasumber yaitu Mohammad Muzzakir selaku perwakilan dari Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah dan Ibnu Tsani selaku Direktur Utama Lazismu Pusat.
Mengawali diskusi, Iqbal membuka wacana tentang peran sentral muhammadiyah dalam pendidikan. Yang didalamnya ada hilir yang perlu dikaji tentang pengayaan literasi ilmiah. Muhammadiyah dalam kiprahnya tidak perlu diragukan lagi. Amal usahanya di bidang pendidikan tersebar di seluruh Indonesia.
Belum lama ini, isu kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) mendapat respons dari masyarakat. Sentimen negatif terhadap PTN begitu besar, tapi juga ada sentimen positif terhadap muhammadiyah yang berupaya menampilkan pendidikan dengan pendekatan inklusif. Ini tentu menarik bagaimana peran sentral dan strategis muhammadiyah, serta bagaimana positioning muhammadiyah di tengah tantangan yang dihadapi saat ini.
Fakta yang tak terbantahkan bahwa perguruan tinggi muhammadiyah (PTM) secara statistik jumlahnya lebih banyak dari perguruan tinggi negeri. Karena bicara pendidikan sebagai pembuka apa yang menjadi tilikan Muzzakir terkait tema kali ini, ungkap Iqbal melontarkan pertanyaan.
Apa yang disoroti terutama akses pendidikan, peran muhammadiyah cukup sentral. Bicara data hari ini masyarakat ketika mengakses pendidikan masih sangat rendah. “Masih jauh dari apa yang kita harapkan. Peran sentral PTM saat isu UKT bergejolak mendapat sambutan baik terutama di Indonesia timur,” jelas Iqbal. Bagaimana pandangan Anda (Muzzakir) terkait peran sentral itu dalam agenda Indonesia emas itu sendiri?
Saya pikir bicara peran sentral muhammadiyah tidak lepas dari sejarah bangsa Indonesia. Dan muhammadiyah merupakan bagian dari komponen bangsa yang ikut mendirikan bangsa Indonesia. Tujuan terbentuknya bangsa ini salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencerdaskannya, maka itulah tugas negara bukan sektor swasta (private sector).
Adalah betul muhammadiyah memiliki amal usaha di bidang pendidikan yang tersebar di nusantara. Tapi tugas utama pendidikan adalah tugas negara, jadi menurut Muzzakir relasi ini harus dipandang antara masyarakat dan negara.
Sebelum muhammadiyah berdiri sudah ada proses melakukan inisiasi praktik pendidikan, tidak hanya formal, tapi informal dan non formal di mana pergerakan tokohnya bagian dari spirit pendidikan itu sendiri. Itu yang dilakukan oleh muhammadiyah, mendirikan sekolah saat itu ketika pendidikan hanya bisa diakses oleh pemerintah kolonial Belanda.
Pribumi itu juga macam-macam ada bangsawan, kiyai, guru dan rakyat jelata. “Tokoh pergerakan itu dulu anak – anak priyayi dan bangsawan, Jadi tidak ada ceritanya kaum jelata kemudian jadi tokoh,” bebernya.
Nah kehadiran muhammadiyah menjembatani itu yang tidak memandang seseorang dari kelas sosial tertentu sebagai kontribusi awal di periode awalnya. Karena sejak awal sudah melakukan demokratisasi pendidikan dalam konteks historisnya, tuturnya.
Semangat muhammadiyah saat itu, mengisi ruang yang belum ada negara, negara yang masih sangat diskriminatif yaitu kolonial beanda. Barulah di era setelah kemerdekaan menjadi berperan penting dalam perkembangannya. Oleh sebab itu, kata Muzzakir, muhammadiyah sudah mengenal modernisasi birokrasi karena sejak awal sudah mengenal sekolah.
Tokoh - tokoh seperti Soekarno dan Jendral soedirman bisa melakukan mobilitas sosial karena sekolah. Konteks sekarang tentu saja berbeda dengan periode awal dan perkembangannya.
Merespons kembali penjelasan dari Muzzakir, lalu Iqbal menyintesakan gerakan muhammadiyah secara historis dengan konteks filantropi, di mana dalam setiap lini gerakan muhammadiyah sekarang ini selalu ada Lazismu. Lembaga amil zakat yang perannya tidak hanya menghimpun dan mendistribusikan tetapi sekaligus kolaborator dalam sisi elemen gerakan muhammadiyah. Apa rencana stragis Lazismu di periode sekarang di mana pendidikan menjadi prioritas, tanya Iqbal kepada Ibnu Tsani.
Ibnu Tsani menjelaskan bahwa Lazismu sebagai lembaga amil zakat ada program yang difokuskan yaitu pendidikan kendati ada program lainnya. Programnya sejalan dengan peran muhammadiyah yang juga bicara dan bergerak dalam bidang pendidikan.
Diketahui bersama pendidikan saat ini menyimpan persoalan. Persosalaan itu sulitnya akses dan kualitas pendidikan yang masih jauh dari cita-cita. “Dalam menjemput akses pendidkan solusi Lazismu adalah dengan beasiswa. Beasiswa di Lazismu ada Sang Surya, Mentari dan Beasiswa Riset. Adalah sulit memisahkan Lazismu dengan program pendidikan,” pungkasnya.
Tantangan pendidikan begitu berat, lembaga pendidikan menjamur, namun untuk bisa masuk ke perguruan tinggi biaya menjadi kendala bagi sebagian masyarakat. Lazismu tidak bisa menyelesaikan akar masalahnya apalagi muhammadiyah. Akar masalahnya ada di negara, kata Ibnu Tsani.
Lahirnya privatisasi dan liberalisasi pendidikan sekarang ini turut menjadi pemicu bagaimana akses pendidikan sulit didapat. Karena itu, Lazismu mendukung kualitas sumber daya manusia dalam bidang pendidikan yang satu paket dengan riset dalam kaitannya.
Selanjutnya dalam akses masih tersisa persoalan berikutnya yaitu sarana pendukungnya yang belum memadai. Maka Lazismu turut memberikan dukungan di bidang pendidikan dengan memberikan sarana pembelajaran berupa Edutabmu sebagai aplikasi digital untuk melengkapi proses belajar mengajar bagi guru dan peserta didik yang manfaatnya dirasakan oleh masyarakat di kawasan terluar, terdepan dan tertinggal.
Menurut Ibnu Tsani posisi Lazismu sebagai bagian dari elemen non-pemerintah memiliki andil bagaimana membuka akses dan kualitas pendidikan tersebut dari pendekatan filantropi. Dengan demikian kata Ibnu Tsani sejarah muhammadiyah juga tak bisa dilepaskan oleh Lazismu yang fokus pada persoalan pendidikan.
Merespons apa yang disampaikan Muzzakir, melihat situasi sekarang, Lazismu dengan 6 pilar programnya merupakan perwujudan dari gerakan muhammadiyah itu sendiri dalam kerangka filantropi.
Karena bicara muhammadiyah maka bicara pendidikan selain ada soal kesehatan, dan itu bagian dari konstruksi sosial secara soiologis seperti itu.
Kemudian visi jangka panjang apa yang Lazismu sematkan dalam gerakannya untuk mendukung visi Indonesia emas. Ibnu Tsani memaparkan bahwa, pertama Lazismu tidak bisa selesaikan akar masalahnya. Bukan tanggung jawab Lazismu dan muhammadiyah. Sekali lagi itu kata kuncinya. Perihal UKT, lanjut dia, akar masalahnya bisa ditilik dari kacamata politik ekonomi pendidikan, faktornya dipicu dari privatisasi dan liberalisasi pendidikan.
Ikhtiar Lazismu adalah memediasi dan memfasilitasi kualitas sumber daya manusia yang dikombinasikan dengan riset dan selanjutnya adalah bagaimana meningkatkan kualitas sarana belajar. Ekosistem ini yang dibutuhkan untuk melipatgandakan kualitas sumber daya manusia.
Tak berhenti sampai gerakan filantropi Lazismu, Iqbal kembali mendedahkan pertanyaan untuk Muzzakir, ketika muhammadiyah berkomitmen di bidang pendidikan, kemudian bagaimana peran dan caranya agar bisa adaptasi terhadap perkembangan zaman terutama dalam merespons keberadaan kampus yang sedapat mungkin relevan dengan zaman.
Merujuk sejarah Muhammadiyah, lanjut Muzzakir, pertama jika bicara PTM itu gagasannya telah ada di tahun 1920 oleh Kiyai Hisam tapi imajinasi itu sudah ada dalam gerakan muhammadiyah. Jika dianalisis lagi satu tahun berikutnya sudah berdiri sekolah Nederlandsch-Indische Artsen (NIAS) setelah itu baru muncul STOVIA. Kemudian berdirilah sekolah teknik yang Soekarno ada dalam prosesnya. Maka muncullah ITB yang berdiri tahun 1920.
Muhammadiyah belum bisa ketika itu, baru kemudian gagasan itu dibuat lagi pada tahun 1955. Saat itu sudah ada perguruan tinggi Islam. Dan kampus - kampus swasta yang secara privat dari kalangan Katolik dan Kristen. Dibandingkan dengan Islam, umat kristiani sudah lebih dulu dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia.
Barulah kemudian sekolah di muhammadiyah muncul. Tapi bukan dari atas, justeru kehadirannya ada dari bawah, dulu cabang muhammadiyah Jakarta mengawalinya kemudian diikuti cabang Solo dan Malang serta di Sumatera Utara. Yang pertama itu UMJ tahun 1950-an di era orde lama itu tidak bisa terlepas dari sejarah.
Kenapa kampus muhammadiyah sudah ada, karena spirit ideologisnya sudah ada, sebagai bagian dari dinamika organisasi dan kebutuhan masyarakat, tapi itu alami percepatan di muhammadiyah dalam majelis tingggi muhammadiyah. Di solo tahun 1965 muhammadiyah menerima asas tunggal, kemudian 1986 diinisiasi majelis diktilitbang secara organisatoris bukan hanya di Jawa tapi di seluruh Indonesia secara bertahap. Itu di era ketika majelis tinggi di muhammadiyah di bawah Jazman al-Kindi pendiri IMM melakukan lompatan pemikiran yang progresif.
Di samping tingkat pendidikan orang Indonesia yang sudah mulai berkembang, seiring itu juga kebijakan orde baru yang membuka program pendidikan seperti sekolah inpres banyak melahirkan kebijakan-kebijakan pendidikan yang secara tidak langsung menguntungkan muhammadiyah.
Baik itu dari sisi historis kata Iqbal selaku moderator. Kira-kira ke depan apa yang dilakukan Lazismu dengan aksi kolaborasinya agar bisa menyongsong pendidikan yang bisa diakses dan berkualitas, dan apa peran Lazismu di sektor itu?
Bagi Ibnu Tsani, pertama akar masalahnya harus dikunci dulu saja. Itu kan tugas negara mencerdaskan kehidupan bangsa, poin kedua adalah kolaborasi antara sektor swasta dan pemerintah. Aspek pemegang kebijakan jangan dihilangkan. Lazismu bagaimana pun bisa menghimpun donasi dari khalayak untuk ambil peran dalam bidang pendidikan.
Saya pikir kerangka ini bisa dilihat di mana Indonesia berdasarkan riset menjadi negara yang masyarakatnya gemar untuk berdonasi. Orang Indonesia yang suka berdonasi harus tetap dipertahankan dan difasilitasi, maka kuncinya harus ada di kepercayaan dalam tata kelolanya (trust).
Kepercayaan publik itu masih ada, selanjutnya bagaimana menyalurkan program sebaik mungkin dengan tata kelola sedemikian rupa yang menjadi fokus lazismu. Jika ada yang berprestasi dalam program pendidikan tentu Lazismu dan muhammadiyah bangga karena dampaknya bisa dirasakan masyarakat.
Merespons kedua narasumber Muhammad Alfarisi dari Magister FAI UAD, mengatakan bahwa narasumber dengan buah pikirannya cukup menarik. Saya tertarik dengan meritokrasi dari Bapak Muzzakir. Diakui bahwa muhammadiyah telah berkontribusi terhadap Indonesia. Tapi realitasnya muhammadiyah hanya dijadikan objek dalam penelitian. Artinya, saya ingin tahu bagaimana cara dari Lazismu Pusat atau Diktilitbang PP Muhammadiyah untuk menguatkan apa yang dikatakan Ketua Umum PP Muhamamdiyah, Haedar Nashir di mana kader - kader adalah sekoci di tempatnya masing masing. Muhammadiyah hanya dijadikan objek penelitian tapi masalahnya tidak disampaikan dengan teori risalah islam berkemajuan dan dakwah kultural.
Dalam kesempatan yang sama M. Fachrurrozi dari PC IMM Bantul, turut merespons kedua narasumber. Pertama tugas menciptakan akses pendidikan adalah tugas negara. Muhammadiyah sebagai sektor swasta yang berkontribusi sejauh ini dalam pemerataan akses juga masih berbeda. Misalnya antara Indonesia bagian Barat dan Indonesia bagian Timur.
Bagaimana Diktilitbang PP Muhammadiyah melihat relaitas yang terjadi di mana akses kualitas PTM tidak merata. Sementara di Indonesia Timur masih terbatas, sehingga sangat panjang prosesnya untuk menciptakan generasi yang berkualitas di Indonesia Timur.
Menanggapi hal itu, Muzakir mengatakan dialektika gagasan dan Islam berkemajuan sama saja dengan gagasan revolusi mental, dan Pancasila tidak hanya dalam kata - kata tapi dalam laku. Artinya dalam sejarah gerakan itu dialektika yang dinamis akan terjadi termasuk ketegangannya.
Muhamamdiyah juga alami itu, bagaimana menjaga jarak antara idealitas dan realitas. Harus ada teks dan konteks yang tiada akhir. Itu yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan, harus bisa memaknai teks dalam gerakan dan aksi nyata. Itu kegelisahan yang kita alami bersama.
Jawabannya menurut hemat saya, sambung Muzzakir, fenomena itu akan dialami oleh individu dan organisasi. Pada waktunya nanti akan menemukan tujuannya, seperti apa yang dijadikan tujuan besar bangsa Indonesia.
Selain perlu impian (utopia), maka gagasan itu butuh dikontekstualisasikan semendekati mungkin. Maka kami di majelis diktilitbang, bagaimana mendorong dalam konteks PTM yaitu ada ukuran formal dalam PTM. Dari hal yang tampak dulu dan isinya perlu kajian lebih lanjut dengan diiringi peningkatan kualitasnya.
Indikatornya bisa muncul budaya akademik yang sehat dan berdampak pada ekosistem pendidikan. Tradisi akademik tidak bisa begitu saja bisa dirasakan. Semua itu ada proses yang berkelanjutan.
Sementara itu, Ibnu Tsani melihat bahwa muhammadiyah sebagai objek penelitian itu masih bisa diperdebatkan. Muhammadiyah "seksi" dan ada dinamika. Kedua, memang ada masing - masing konteks juga di wilayah dan cabang yang tidak bisa digeneralisasi. Tapi initinya pada konteks riset muhammadiyah masih layak untuk dikaji baik dalam aspek layanan, pemikiran dan gerakannya.
Sebenarnya kalau bagaimana putusan persyarikatan itu hemat saya adalah pimpinan itu mampu membaca teks dan dikontektualisasikan dalam agenda kerja yang konkret. Akses PTM tidak merata karena biaya yang mahal, bukan perkara mudah. Dan menurut pandangan saya, bagaimana negara dalam cara pandangnya terhadap muhammadiyah itu kompetitor atau mitra.
Jika itu sudah jelas kuncinya tergantung bagaimana negara melihat muhammadiyah sebagai kompetitor atau mitra. Faktanya mendirikan PTM itu butuh investasi yang tidak sedikit dan butuh proses yang panjang.
Ibnu Tsani menuturkan bahwa muhammadiyah dan Lazismu tidak akan pernah berhenti untuk melakukan gerakan filantropi. Harus dengan pembacaan yang ikhtiarnya mengkaji dengan sumbangsih tulisan dan aksi konkret sehingga ada cara pandang yang signifikan dan ada kawan berkolaborasi yang baru sehingga dunia tidak sempit. “Jangan pernah merasa menyesal setelah kuliah tidak dapat kerja dan dunia kiamat,” tutupnya.