Semarang – LAZISMU. Selama ini orang mengenal Nyangkringan sebagai destinasi mancing. Nyangkringan merupakah nama kampung yang berada di pesisir laut Utara yang berbatasan dengan kota Semarang di sisi Timur. Nyangkringan termasuk bagian dari teritori kecamatan Sayung kabupaten Demak. Jika berkunjung ke kampung ini, mudah sekali menemukan titik-titik tempat (spot) mancing.
Ketinggian air di sepanjang sisi jalan hampir sama dengan ketinggian jalan, bahkan di tempat tertentu air meluap ke jalan apabila air laut sedang pasang. Sepanjang sisi laut ada air yang biasa jadi tempat memancing, dari pinggir laut, selokan pinggir jalan, sela-sela rumah dan tempat umum lainnya.
Di kampung itu cuma ada satu jalan utama, yakni jalan Sriwulan yang panjangnya kurang lebih 3 km. Jalan ini menjadi satu-satunya akses masuk dan keluar kampung Nyangkringan saat ini. Kalau kita buka peta di internet, jalan Sriwulan itu bertemu dengan jalan raya Trimulyo di sebelah barat dan terhubung ke jalan Morosari di sebelah Timur.
Kenyataannya ruas jalan ke arah barat itu sudah tergenang air laut. Begitu juga jalan ke arah Timur juga sudah tenggelam, tak berbekas.
Menurut keterangan warga setempat Syarifudin (34), dulunya tanah di kampung Nyangkringan adalah tanah pertanian, ada sawah juga ada kebun dengan bermacam tanaman. Mayoritas warganya dulu adalah petani, ada yang menanam padi, jagung, ketela, kelapa, pisang dan bermacam tanaman. Hanya sebagian kecil yang memiliki mata pencaharian sebagai nelayan, sebagian juga ada petani tambak.
Semenjak 1999, kenaikan air laut sudah memasuki area perkampungan warga. Meski lambat tapi pasti, ujar Syarifudin. “Semakin lama semakin tinggi dan semakin banyak yang tertutup air laut,” pungkasnya. Warga yang tidak betah tinggal di kampung ini, memilih pindah ke tempat lain. Namun Syarifudin tetap memilih tinggal di kampung Nyangkringan, meskipun jaraknya cukup jauh dari tempat kerja sehari-harinya.
Baginya kampung ini adalah tanah kelahirannya, juga peninggalan sejarah panjang leluhurnya. Tidak mudah melepaskan meskipun kondisinya sudah berubah drastis dibandingkan dulu pada masa kecilnya.
Syarifudin menceritakan masa kecilnya yang suka bermain di kebun samping rumahnya. Banyak tanaman, pohon yang rindang dan bermacam tumbuhan. Ada buah-buahan yang bisa dijadikan makanan. Sungai kecil di pinggir kampung, sering menjadi tempat bermain air, mencari ikan, berenang dan permainan yang menyenangkan anak-anak. Namun sekarang semua sudah sirna, tertutup air laut.
Di kampung inilah pada Ahad (2/8/2020), dilaksanakan penyembelihan hewan kurban. Kerjasama Lazismu dengan SD Muhammadiyah 08 Pedurungan Semarang, mengalokasikan tasaruf kurban berupa satu ekor sapi yang diperoleh dari kelompok wali siswa SD 08. Sementara Lazismu memberikan bingkisan kepada anak-anak sekolah berupa school kit yang terdiri dari tas sekolah dan buku tulis.
Kepala Sekolah SD Muh 08, Alifia yang turut menyaksikan jalannya penyembelihan hewan kurban, menyampaikan bahwa dia sengaja menempatkan tasaruf kurban di lokasi pesisir untuk lebih mengenal masyarakat dari berbagai macam latar belakang. Sebagai pendidik dia berharap agar anak-anak usia sekolah di lingkungan itu mendapatkan kesempatan belajar yang cukup, dan kualitas belajar yang baik meskipun dengan segala keterbatasan lingkungannya. (cs)