

Persoalan ini turut menyita perhatian lembaga pengelola zakat, bahwa instrumen zakat, infak dan sedekah memiliki potensi yang besar dalam mendukung program pemerintah daerah dalam pengentasan kemiskinan. Karena itu, dalam memotret desa atau kelurahan yang di dalamnya ada kemiskinan, Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) Diskusi dan Diseminasi Model Pengelolaan Zakat berbasis Desa/Kelurahan.
Diskusi tersebut berlangsung di Mercure Hotel, pada Selasa – Rabu, 28-29 September 2021, yang melibatkan Lembaga Amil Zakat, Badan Amil Zakat, Forum Zakat, Perkumpulan Organisasi Pengelola Zakat (POROZ), dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal
Dan Transmigrasi Republik Indonesia. Secara intensif, acara diseminasi Model Pengelolaan Zakat berbasis Desa/Kelurahan yang melibatkan pemangku kepentingan ingin merumuskan bagaimana pengelolaan zakat di daerah bisa mengentaskan kemiskinan.
Dalam sesi yang bertajuk Strategi Pengembangan Pengelolaan ZIS Berbasis Desa/Kelurahan. Muhammad Sabeth Abilawa selaku Direktur Utama Lazismu mengatakan bahwa Lazismu sebagai lembaga amil zakat memiliki tantangan dan peluangnya sendiri. Dan mungkin dalam konteks kasus tertentu berbeda dengan apa yang dialami lembaga amil zakat berbasis yayasan.
Dalam konteks ini, Sabeth menambahkan, di Lazismu yang dapat diambil contoh misalnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Jawa Tengah, Lazismu Banyumas dan Sragen memiliki model tersendiri bagaimana tata kelola zakat dalam ruang lingkup daerah dapat beroperasi. "Model ini hanya sebagai contoh yang terjadi di Lazismu bahwa dalam ruang lingkup daerah lembaga amil zakat dapat memberikan sumbangsih di daerahnya," jelas Sabeth.
Di Jawa Timur, terang Sabeth, juga ada beberapa daerah yang sama, Sidoarjo misalnya, dukungan entitas Muhammadiyah memberikan informasi yang berarti bagaimana tata kelola zakat di suatu daerah bisa berdampak di masyarakat. Karena itu dibutuhkan pengembangan program dan penghimpunan yang kuat, sehingga dari beberapa model yang dijalankan Lazismu di daerah sebagai perbandingan yang bisa dilihat.
Tak kalah penting, bagi desa atau kelurahan, bahwa keberadaanya menjadi alarm saat kondisi kemiskinan ada dalam suatu daerah. "Di sanalah sebetulnya wajah Indonesia dilihat, potensi desa selama ini sulit berkembang meskipun ada dana desa, namun bukan untuk pemberdayaan", paparnya. Dalam skala lain, ungkap Sabeth, harus ada intervensi yang perlu ditangani, maka hal ini perlu dicegah agar tidak terjadi migrasi besar-besaran. Wawasan dan literasi filantropi memang perlu digalakkan terus menerus untuk membuka realitas yang ada. (na)

