

Semua sifat yang ditimbulkan oleh bencana adalah sifat negatif. Bencana tidak pernah menimbulkan kebahagiaan, kecuali bagi sebagian elit yang suka mempermainkan proyek bencana. Maka, setiap umat beragama memiliki doa agar terhindar dari bencana. Namun, tetap saja, tak ada gading yang tak retak. Tak ada hidup yang mulus-mulus saja, yang terus-terusan berada di atas, yang penuh suka tanpa ada duka.
Bencana tetap saja selalu datang silih berganti. Kadang ringan, kadang berat, kadang juga sangat berat. Sintang, salah satu Kabupaten di Kalimantan Barat menjadi korban keganasan bencana. Sintang dan sekitarnya dihantam banjir berkepanjangan. Banjir tersebut bertahan selama lebih dari satu bulan. Pekan ketiga bulan Oktober menjadi awal yang muram bagi Kabupaten dengan jumlah penduduk 421.306 jiwa tersebut.
Banjir di Sintang tidak sama dengan Batu. Di Batu, banjir datang begitu kencang. Air bah meluluhlantakkan bangunan. Banjir di Batu meminta tumbal berupa korban jiwa. Sementara itu, banjir di Sintang datang pelan-pelan. Air naik sedikit demi sedikit. Namun, ketika air sudah sedemikian tinggi, ia tak sudi untuk surut hingga lebih dari satu bulan. Konon, di salah satu titik, ketinggian air mencapai 3 meter. Hampir dua kali lipat tinggi orang Indonesia.
Ekonomi lumpuh. Kegiatan sehari-hari mandek. Ibadah berjamaah libur. Penduduk Sintang menepi dari rumah yang sehari-hari mereka tinggali. Yang beruntung, bisa singgah di rumah sanak saudara. Yang tidak beruntung, mencari tempat yang tinggi di tengah hutan Kalimantan. Makan dari hasil hutan yang bisa dimakan. Tidur beralas tenda dari kayu, beratap langit.
Endang Kusmiyati, Koordinator Eksekutif Lazismu Sintang mengaku bahwa sepanjang hidup, ia tidak pernah merasakan banjir yang sedemikian besar seperti yang tengah ia alami.
Menurutnya, orang-orang tua di Sintang sering bercerita, bahwa banjir seperti saat ini pernah terjadi pada tahun 1964. Namun, durasinya tetap lebih lama banjir sekarang. Banjir saat ini lebih besar dari banjir besar yang terjadi 57 tahun silam!
Jalan Lintas Melawi, salah satu jalan utama di Sintang berubah menjadi sungai. Sehingga yang bisa melewati jalan tersebut hanya perahu. Seluruh transportasi darat lumpuh total. Padahal, jalan tersebut adalah satu-satunya jalan menuju Kabupaten terujung di Kalimantan Barat, yaitu Kabupaten Kapuas Hulu. Banjir di jalan ini kedalamannya mencapai 1 meter.
Menurut Kepala BNPB Mayjen TNI Suharyanto, Sintang tidak pernah mengalami banjir pada kurun waktu 1990-2010. Namun, hal tersebut berubah setelah terjadi kerusakan lingkungan dalam satu dekade terakhir.
Aldo Topan Rivaldi, relawan Muhammadiyah Sintang bercerita. Ia menemukan pengungsi yang mengungsi di hutan. Mereka minum di air keruh karena tidak ada air bersih sama sekali. Sementara itu, mereka tidak mungkin menahan rasa haus.
Selain itu, pengungsi yang berasal dari Desa Tebing Raya, Kecamatan Sintang itu juga tidur di pondok sederhana. Jangan harap bantal dan guling. Bebas dari gigitan nyamuk saja sudah merupakan kemewahan yang langka.
Pondok yang mereka tempati dibangun dari papan kayu. Papan kayu tersebut dilapisi tikar. Tentu saja tidak ada tembok. Yang ada hanya bekas terpal yang dijadikan dinding sekaligus atap. Di atas tikar, seluruh barang-barang diletakkan. Itupun hanya barang-barang yang bisa diselamatkan.
Di hutan, anak-anak kehilangan kesempatan belajar. Waktu satu bulan seharusnya bisa digunakan untuk mempelajari barang satu dua huruf, satu dua kosakata dalam bahasa asing, dan satu dua operasi matematika. Namun mereka kehilangan itu. Mereka justru sibuk mengeluh dan merengek kepada ibunya meminta pulang.
Di hutan pula, para orang tua tidak bisa bekerja. Sawah mereka terendam. Warung-warung mereka tutup. Jasa-jasa libur. Mereka menggantungkan hidup pada Tuhan melalui tabungan dan belas kasih relawan.
Melihat bencana yang begitu ganas, Persyarikatan Muhammadiyah yang dilahirkan oleh Ahmad Dahlan 109 tahun silam tak tinggal diam. Muhammadiyah tidak hanya membantu dalam doa, namun juga membantu dalam tindakan.
Sejak awal terjadi banjir, Muhammadiyah langsung mendirikan empat pos pelayanan. Empat pos tersebut tersebar di SMK Muhammadiyah Sintang, SMP Muhammadiyah Sintang, SD Muhammadiyah Sintang, Tebing Raya, dan Mungguk Bantok. Empat pos tersebut telah menjangkau setidaknya 178 KK dan 605 jiwa.
Belakangan, ketika air semakin tinggi, pos pelayanan di SMP Muhammadiyah Sintang terpaksa ditutup karena ikut terendam ganasnya banjir.
Muhammadiyah, melalui berbagai sayap organisasinya, membuka pos layanan kesehatan di 39 titik. Salah satunya adalah di Gereja Yonesius Engkrauk Entabuk Belitang Hilir. Kenapa Muhammadiyah membuka pos kesehatan di gereja? Karena Muhammadiyah sudah selesai dengan urusan-urusan toleransi tanpa perlu teriak-teriak paling toleran.
Muhammadiyah melakukan pendistribusian logistik, sejak awal hingga akhir November. Logistik yang didistribusikan oleh Muhammadiyah telah menjangkau hampir 4 ribu jiwa di Sintang, Ketapang, dan Sanggau. Ahad (28/11), mereka membagikan sembako dan hygiene kit sebanyak 1000 paket kepada warga di Tebing Raya, Entabuk, Sungai Asem, Engkrau.
Sementara itu, layanan kesehatan Muhammadiyah telah menjangkau hampir dua ribu jiwa. Layanan psikososial menjangkau 63 jiwa, dan dapur umum menjangkau hampir dua ribu jiwa. Muhammadiyah, tentu saja, juga melakukan pembersihan fasilitas umum ketika banjir sudah mulai surut akhir November silam.
Tim respon Muhammadiyah terdiri dari 198 orang. 82 orang di tim poskoor relawan, 10 orang tim logistik, 12 orang tim SAR, 45 orang tim kesehatan, 5 orang driver, 15 orang dapur umum, 23 orang relawan umum, dan 6 orang tim asistensi. Relawan-relawan tersebut didatangkan dari berbagai daerah, termasuk dari Jawa dan Sumatra.
Kini, beberapa daerah di Sintang sudah mulai surut. Jika menggunakan patokan Jalan Lintas Melawi, maka Sintang tergenang selama genap satu bulan. Namun, Sintang bukan hanya ada di Jalan Lintas Melawi. Hingga awal Desember, beberapa daerah seperti Kapuas Hulu, Selimbau, dan Semitau belum juga surut.
(Yusuf)

