

Saya hanya bisa merenungkan korban-korban bencana awan panas guguran Gunung Semeru yang kehilangan sanak saudaranya. Dalam keadaan seperti ini, mana mungkin mereka bisa merenung mencari ide seperti yang tengah saya lakukan?
Yang sempat mereka pikirkan adalah bagaimana cara menemukan jasad sanak saudaranya. Bagi yang sudah ditemukan, mereka akan menyesal sejadi-jadinya, perihal kebaikan-kebaikan yang belum sempat mereka berikan kepada almarhum, atau perihal kesalahan-kesalahan yang belum sempat mereka mintakan maaf kepada almarhum.
Mereka juga berpikir perihal rumah yang telah begitu nyaman ditinggali, yang tiba-tiba hancur lebur tak berbekas. Mereka yang sehari-hari bekerja sebagai petani, yang ketika panen tiba-tiba pemerintah malah impor hasil tani, bagaimana bisa membangun rumah menjadi seperti semula?
Mereka juga mengkhawatirkan nasib anak-anaknya. Anak-anak ringkih itu butuh tempat tinggal untuk melindungi diri dari dinginnya malam dan teriknya siang. Namun, di mana mereka akan berteduh, ketika rumah yang selama ini mereka tinggali telah luluh lantah oleh awan panas guguran Gunung Semeru?
Sepertinya, mereka tak sempat memikirkan hal lain, karena dunia yang mereka huni tiba-tiba menjadi gelap, sempit, dan menyesakkan. Berbeda dengan saya dan kamu masih sempat membaca tulisan ini, yang bisa merasakan nikmat berpikir dan merenung.
Dalam perenungan saya, saya tak kunjung mendapatkan ide menarik. Maka saya pergi ke ruang tengah. Saya nyalakan televisi, saya putar acara ceramah. Bukan karena saya suka mendengarkan ceramah di TV, bukan. Namun karena tidak ada acara lain yang lebih bagus.
Kebetulan sekali, penceramah di TV itu mengatakan bahwa salah satu nikmat terbesar manusia yang diberikan oleh Allah adalah nikmat akal. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa yang membedakan manusia dengan hewan adalah kemampuan berpikir. Sambil mengutip seorang filosof klasik, ia berkata bahwa manusia adalah hewan yang berpikir.
Padahal, seperti yang saya tulis di atas, orang yang sedang berada dalam kesusahan akan sulit sekali berpikir secara jernih. Ia membutuhkan bantuan orang lain agar kemampuan intelektuilnya tetap berjalan. Agar ia tetap bisa memikirkan masa depan dengan baik dan benar.
Sampai titik ini, saya kemudian memahami bahwa bantuan-bantuan yang diberikan oleh Muhammadiyah adalah dalam upaya merawat akal sehat para korban bencana di manapun berada. Bayangkan saja, jika tidak ada relawan yang membantu korban bencana Semeru, atau korban bencana lainnya, maka para korban tersebut bisa tambah pusing. Beban yang ia terima tidak hanya kerugian materi atau kerugian jiwa, namun juga tekanan psikis yang tak mudah dilewati.
Tak heran, beberapa jam setelah terdengar berita tentang Semeru, grup WhatsApp yang berisi aktivis-aktivis MDMC dan Lazismu Pusat langsung ramai. Tercatat, guguran awan panas atau banjir lahar terjadi pada pukul 14.47 WIB. Pada pukul 17.54 WIB, grup tersebut mulai menunjukkan aktivitas.
"Lazismu segera galang dana. Nanti akan kami blasting," ujar seorang petinggi MDMC PP Muhammadiyah.
Rekomendasi tersebut disikapi dengan serius oleh Lazismu. Untuk wilayah Jawa Tengah saja, perolehan donasi siaga bencana hingga Rabu, 15 Desember, 11 hari setelah letusan Gunung Semeru, mencapai 2,3 miliar rupiah. Sementara itu, angka di Jawa Timur lebih fantastis lagi. Pada hari Selasa, 14 Desember, donasi siaga bencana yang digalang oleh Lazismu Jawa Timur mencapai lebih dari 2,5 miliar rupiah. Itu belum angka donasi secara nasional. Banyak betul!
Dana-dana tersebut digunakan untuk membantu korban bencana Semeru melalui relawan MDMC di seluruh Indonesia yang datang ke lokasi bencana. Kisah-kisah kerelawanan MDMC dengan funding Lazismu ini terekam banyak sekali di media online. Coba search di google dengan keyword "MDMC Semeru", maka ratusan artikel berita akan muncul. Donasi dari masyarakat melalui Lazismu pun bisa dilihat hasilnya.
Dengan donasi tersebut, para korban yang tengah berada di dunia yang sempit, gelap, dan menyesakkan, bisa sedikit merasa lega, terang, dan lapang. Mengingat, ada puluhan relawan yang sejak awal bencana hingga detik ini masih bertahan di Semeru untuk membantu mereka. Para korban tersebut kemudian bisa berpikir secara lebih jernih, mencari solusi terbaik dalam menghadapi situasi yang sulit.
Para relawan tersebut, meskipun tidak bisa menggantikan sepenuhnya sanak keluarga yang meninggal, setidaknya bisa mengurangi beban kehilangan orang-orang tersayang. Senyum tulus para relawan membuat dunia korban yang muram, menjadi tidak muram-muram amat. Membuat dunia korban yang gelap, menjadi ada setitik cahaya yang tetap hidup.
Cahaya tersebut adalah cahaya kemanusiaan, cahaya empati, cahaya kepedulian. Cahaya tersebut menyinari umat manusia agar mampu berpikir lebih jernih dan lebih baik. Tentunya, agar mampu merenung seperti yang sedang saya lakukan ini. Anehnya, saya masih merenung akan menulis apa, tapi kok tulisan ini sudah selesai?
(Yusuf)

