Ziska Talk, Lazismu Mencari Model Inovasi Program dan Menepis Keraguan Aspek Syariah Perlindungan Anak (Bag - 1)
JAKARTA --- Kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap anak di Indonesia sedang tidak baik – baik saja. Ada banyak data yang bisa ditelisik misal dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) maupun dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI) Pimpinan Pusat Aisyiyah.
Perihal persoalan itu, Divisi Research and Development (R & D) Lazismu Pusat mengupasnya dalam Ziska Talk pada Senin, (30/9/2024) yang mengusung tema: Zakat Untuk Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Diskriminasi yang digelar secara online.
Dalam pengantarnya, Anggota Badan Pengurus Lazismu Pusat, Ninik Annisa mengatakan bahwa angka kasus kekerasan terhadap anak semakin meningkat. Salah satunya data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI) PP Aisyiyah pada tahun 2024 telah terjadi kasus sebanyak 10.592 berupa kekerasan terhadap anak dan jumlah korbanyanya mencapai 11.000.
“Jumlah ini sebetulnya melipatgandakan dari 6 tahun sebelumnya di mana pada tahun 2016 terdapat kasus di mana korban laki-laki sebanyak 1.478 dan untuk korban perempuan sebanyak 3.757,” jelasnya.
Ninik menegaskan pada 2024 ini, jumlah korban laki-laki sebanyak 3.376 dan korban perempuan mencapai 8.329, hal itu tentu saja data yang ada tidak sebenarnya utuh karena masih banyak kasus – kasus yang tidak dilaporkan. Maka kami terutama dari Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM) PP Aisyiyah juga menangani kasus serupa di mana kekerasan terhadap anak terjadi.
Berita terbaru tentang kekerasan terhadap anak dan kekerasan seksual sudah beredar luas, indeks pencarian beritanya selalu trending untuk beberapa pekan ini. Selebihnya kabar anak berurusan dengan hukum baik sebagai pelaku dan korban saling sambut menyambut kejadiannya. Pertanyaannya, masih adakah upaya perlindungan terhadap hak-hak anak ?
Sentimen negatif terus mengemuka terhadap keadilan hukum dan upaya serius pemerintah dan semua pihak terhadap meningkatnya kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap anak. Untuk itulah Lazismu mengangkatnya dalam perspektif yang relevan agar ada kesadaran dan ikhtiar memitigasinya yang diperlukan dengan kolaborasi dan sinergi semua pihak termasuk oleh lembaga amil zakat.
Bagi Muhammadiyah dalam perspektif Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT), tren peningkatan kasus tersebut atau pun faktor-faktor yang melatarbelakanginya perlu dilihat secara komprehensif melalui fikih perlindungan anak karena persoalannya sungguh krusial. Bisa saja dalam pemahaman fikih kebanyakan orang melihatnya secara parsial. Namun bagi Asep Salahuddin sistematika dan cara pandangnya terhadap perlindungan anak diteropong dari produk Muhammadiyah berupa fikih perlindungan anak.
“Sama dengan fikih-fikih sebelumnya yang menjadi bagian dari produk pemikiran hukum islam di Muhammadiyah bahwa dalam merespons suatu persoalan, perlu adanya rumusan-rumusan khusus (spesifik) yang didasarkan pada ajaran-ajaran Islam, yaitu Fikih khususnya,” kata Asep.
Asep menggarisbawahi agama islam memiliki konsep-konsep dalam merespons “suatu masalah”, maka perlu didiskripsikan lebih jelas konsep-konsep dari ajaran-ajaran Islam tersebut.
Terkait fikih perlindungan anak sebagaimana telah disusun term of references-nya oleh Lazismu dalam pokok bahasan ini, posisi saya sebagai MTT PP Muhammadiyah diamanahi untuk menjawab dan memaparkan tentang, pertama, sosialisasi nilai-nilai dasar Fiqih Perlindungan Anak berdasarkan Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Kedua, strategi dan upaya yang dilakukan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah untuk mengatasi kekerasan dan diskriminasi pada anak.
Secara garis besar rumusan itu, menurut Asep didasarkan pada konsep yang berkesinambungan. Fikih Perlindungan Anak dari cara pandang Islam berbicara baik tentang tauhid, nilai etika dan hukum yang terkait dengan Perlindungan Anak.
“Fikih Perlindungan Anak digambarkan dalam tiga aspek secara berkesinambungan, antara lain nilai-nilai dasar (al – qiyam al-asasiyah), prinsip-prinsip umum (al-ushul al-kulliyah) dan pedoman praktis (al-ahkam al-far’iyah),” bebernya.
Memang ada faktor plus bahwa Islam merupakan agama yang sesuai dengan waktu dan zaman. Namun kata Asep, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana Islam mampu menjawab persosalan-persoalan yang dihadapi umat, terutama misalnya tentang kekerasan dan diskriminasi terhadap anak.
Tiga aspek yang ada harus diturunkan lagi yang pada akhirnya nanti seperti diharapkan oleh Lazismu bahwa ada pedoman praktisnya yang mungkin menjadi apa yang kita cari bersama yaitu kiat apa dan strategi apa yang dilakukan oleh MTT terkait persoalan kekerasan dan diskriminasi terhadap anak.
Prinsip umum yang mendasari fikih, lanjut Asep, bersumber dari tauhid, kemuliaan manusia dan nilai-nilainya harus dihayati dengan seksama. “Apa yang akan kita lakukan dan ketahui untuk meraih keadilan dan adanya kemuliaan sebagai manusia seperti hak hidup dan tumbuh kembang, ini yang harus kita pahami sebagai pedoman praktis tentang anak, hak hidup dan tumbuh kembangnya,” jelasnya.
Hal itu nanti akan muncul persoalan persoalan lain seperti ada aborsi, kematian bayi dan balita, stunting dan lainnya. Bagaimana menyikapinya maka pedoman praktis harus dipahami yang diturunkan dari nilai dasar dan prinsip umumnya.
Apa prinsip umum yang berkaitan dengan keadilan, adanya hubungan kesetaraan yang sama antara laki-laki dan perempuan, anak dan ibu, anak dan ayah, dan sebagainya dari sana akan muncul pedomannya berupa hak sipil. “Hak sipil terkait identitas anak, pengasuhan anak dan anak yang berurusan dengan hukum,” sambungnya.
Barulah kemudian kata Asep, nilai dasar kemaslahatan itu diturunkan dengan prinsip kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan hidup. Dari sanalah prinsip pedoman praktisnya yaitu hak pelindungan misalnya tentang pernikahan anak, pengangkatan anak, perdagangan anak, dan kekerasan seksual yang sekarang beritanya viral di media online.
Pedoman praktis perlindungan anak dibahas dalam kerangka hak-hak anak dalam empat ranah utama terang Asep, antara lain meliputi Hak hidup dan Hak Tumbuh Kembang, Hak Sipil, Hak Keamanan (Perlindungan) dan Hak Pendidikan.
Poin pentignya terang Asep, sesungguhnya pemuliaan anak dalam islam dimulai sejak dalam usia anak bahkan sejak dalam kandungan. Islam melarang melakukan kekerasan dan diskriminasi terhadap anak, larangan ini menunjukkan betapa mulianya seorang anak, ia tidak bisa dinilai dengan nominal harta sebesar apapun.
“Karena dalam Islam, hak tumbuh kembang berupa aspek psikis (rohaniah) dan aspek fisik (jasmaniah) telah dikupas dalam Munas Tarjih ke-30 pada tahun 2018 di Makasasar yang secara informatif dibukukan dalam berita resmi muhammadiyah dan dapat diunduh secara online,” ungkapnya. (Bersambung Silakan Klik)