Ziska Talk, Lazismu Mencari Model Inovasi Program dan Menepis Keraguan Aspek Syariah Perlindungan Anak (Bag- Akhir )
JAKARTA -- Senada dengan hal itu, Diyah Puspitarini dari PP Aisyiyah yang juga Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mengutarakan bahwa sudah sangat jelas apa yang telah dipaparkan oleh Asep Salahuddin, bahwa fikih perlindungan anak dan upaya perlindungan anak di Indonesia menjadi agenda mendesak.
Kita ketahui bahwa, kata Diyah, jumlah penduduk di Indonesia kurang lebih 270 juta jiwa, adapun jumlah keluarga terdapat 91,2 juta dan jumlah anak-anak sepertiga dari jumlah penduduk Indonesia, ini menurut data tahun 2020 dan jika ada perubahan angkanya hanya berubah sedikit.
KPAI sendiri ungkap Diyah, mendapat mandat untuk melakukan pemantauan, evaluasi dan laporan terhadap pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). “Hal itu didasari pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” tegasnya.
Saya di sini mencoba menarik titik temu dari apa yang sudah dijelaskan oleh Asep Salahuddin, hanya saja dalam konteks ini berangkat dari prinsip perlindungan anak berdasarkan Konvensi Hak Anak (KHA) yang diratifikasi oleh negara-negara PBB pada tahun 1989 dan Indonesia pada tahun 1990 ikut meratifikasinya.
“Hasil ratifikasi tersebut tentang perlindungan anak menyangkut hal-hal seperti non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup dan tumbuh kembang anak, dan terakhir partisipasi anak,” paparnya.
Untuk melaksanakan hal itu, sambung Diyah, peran pemerintah dan roda pemerintahan wajib melaksanakannya dalam bentuk apapun. Siapa bertanggung jawab, berdasarkan undang-undang perlindunagan anak, yang bertanggung jawab adalah anak itu sendiri yang sudah baligh, orangtua dan keluarga, masyarakat, negara dan pemerintah dengan segala sumber dayanya.
Termasuk di dalamnya mengenai 15 kondisi anak yang harus dapat perlindungan khusus dari negara seperti dalam situasi darurat, kebencanaan, pornografi, kekerasan seksual, penyalahgunaan narkoba dan lainnya, imbuhnya.
Risiko-risiko yang dialami anak dikupas secara historis oleh Ibnu Tsani Direktur Utama Lazismu Pusat. Dia mengatakan sebetulnya ketika berbicara fikih perlindungan anak dari kacamata Muhammadiyah sudah clear, jadi tidak perlu diragukan lagi sumber-sumber rujukan ilmiahnya.
Dari waktu ke waktu, kata Ibnu Tsani, inovasi pemikiran Muhammadiyah terkait isu perlindungan anak tidak hanya dikupas belakangan ini saja. Di tangan Muhammadiyah, sejarah telah membutktikan bahwa ada dokumen penting persyarikatan yang bisa menjadi sumber rujukan yaitu keluarga sakinah dan fikih perlindungan anak.
Prinsip Non-Ddiskrimasi di muhammadiyah, menurut Ibnu Tani sudah ada sejak dahulu misal saat berdirinya PKO yang dilatarbelakangi oleh itikad muhammadiyah untuk menolong siapapun yang membutuhkan uluran tangan apapun latar belakangnya.
Temuan menarik misalnya pada tahun 1960 – 1970-an, program inovasi usaha perlindungan anak muhammadiyah secara eksplisit saat itu penerima manfaatnya adalah keluarga tahanan politik G.30 S /PKI. “Dasarnya landasan keputusan sidang tanwir muhammadiyah yang ditanfizdkan pad atahun 1969 di Ponorogo,” jelasnya. Di sini perannya supaya muhammadiyah mengadakan pendekatan untuk membina tapol dalam bidang kesehatan mental. Bahkan supaya memperhatikan yatim piatu yang menjadi korban akibat G.30S/PKI.
Ibnu Tsani mengatakan pemaknaan terhadap keputusan persyarikatan pada tahun 1969 itu adalah dalam konteks non-diskriminasi sebagai pesan utamanya. Maka jika saat ini ada korban konflik yang dialami anak maka anak tidak boleh menjadi korban dan di diskriminasi dalam pelabelan tertentu. Inilah spirit yang menjadi prinsip muhammadiyah dalam mengedepankan risalah perlindungan anak dalam hal non-diskriminasi.
Terkait partispasi anak dan penghargaan anak ada, lanjut Ibnu Tsani, ada dokumen muktamar muhammadiyah ke-40 di Surabaya pada tahun 1978, yang menerangkan bahwa program kesejahteraan keluarga dirumuskan dengan indikatornya dan dari fungsi keluarga itu sendiri.
Menyangkut penghargaan terhadap partisipasi dan pendapat anak, muhammadiyah pada tahun 1961 mendiri kan IPM sebagai bentuk penghargaan untuk anak dalam konteks memilih dan dipilih. “Dalam melaksanakan programnya IPM merupakan bukti bagaimana partisipasi dan keterlibatan anak menjadi contoh kebajikan.
“Sekali lagi ini sudah clear di muhammadiyah dengan berbagai keputusan strategisnya yang dipertahankan sampai sekarang,” pungkasnya.
Lalu bagaimana dengan dana zakat, Ibnu Tsani mengatakan terkait program itu bisa merujuk pada dokumen risalah islam berkemajuan yang di dalamnya mengupas perlindungan anak dan ketahanan keluarga. Hal ini juga adanya sinkronisasi renstra Lazismu dalam 6 pilar program-programnya.
Mempertagas kembali bahwa jika merujuk aspek syariah maka muhammadiyah sudah final. Dan kawan-kawan Lazismu yang ada di wilayah dan daerah jangan ragu karena sudah jelas pada aspek syariahnya bahkan tidak perlu khawatir lagi.
“Secara hirarki munas tarjih kedudukannya lebih tinggi dari fatwa. Fatwa bisa diterbitkan jika belum ada keputusan yang eksplisit. Apa yang dipaparkan oleh pembicara sebelumnya semua sudah aman dari aspek syariah,” tegasnya lagi meyakinkan.
Adapun model pendekatan programnya kata Ibnu Tsani, bisa berbasis keluarga, Aumsos, atau komunitas, tinggal memilihnya sesuai dengan kondisi lokal masing-masing Lazismu di wilayah.
Salah satu program yang mungkin bisa dilakuikan adalah program pengasuhan seperti telah disampaikan pembicara Diyah Puspitarini, yaitu aspek pengasuhan muhammadiyah yang sudah punya programnya yaitu pengarusutamaan pengasuhan berbasis keluarga yang meliputi pusat santunan keluarga, Pusat Asuhan Keluarga yang di dalamnya ada orang tua asuh, pengangkatan anak, perwalian dan keluarga sedarah.
Lebih khusus lagi soal model pengasuhan anak di Muhammadiyah sudah diakui secara hukum internasional. Ini bisa dilacak dalam diokumen resmi muhammadiyah, yang jika disinergikan dengan program perlindungan anak bisa terkoneksi dengan 6 pilar program Lazismu seperti pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang semuanya bisa dikombinasikan. Tinggal merangkai dan bagaimana mengeksekusinya dari aspek program, tutup Ibnu Tsani
[Kelembagaan dan Humas Lazismu PP Muhammadiyah]