TIGA KUNCI GERAKAN FILANTROPI UNTUK INOVASI SOSIAL
Ditulis oleh Doddy
Ditulis pada 13:46, 11/12/2021
JAKARTA -- Sesuai dengan tema pelaksanaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Lazismu 2022, "Inovasi Sosial untuk Pencapaian SDG’s" menjadi materi yang diangkat dalam sesi bersama narasumber Hilman Latief selaku Penasehat Ahli Lazismu Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Sesi ini berlangsung pada Sabtu (11/12) dalam rangkaian Rakernas Lazismu 2022 di UPT Asrama Haji Embarkasi Jakarta, Jalan Raya Pondok Gede, Pinang Ranti, Kecamatan Makasar, Kota Jakarta Timur, DKI Jakarta. Bertindak sebagai moderator yaitu Ketua Badan Pengurus Lazismu PP Muhammadiyah, Mahli Zainuddin Tago.
Dalam paparannya, Hilman menyebutkan bahwa isu filantropi dan inovasi sosial saling mendukung dalam arah kerja Lazismu. Menurutnya, pergerakan filantropi Islam telah semakin berkembang, termasuk di Persyarikatan Muhammadiyah. Muhammadiyah sebagai payung organisiasi membutuhkan unit penopang gerakan yang lincah dan inovatif. Lazismu sebagai bagian dari gerakan filantropi Islam perlu memproyeksikan agenda perubahan yang lebih tertata, sistematis, berdampak luas dan berkelanjutan. Karena itulah, "Inovasi sosial" merupakan satu gagasan lanjutan dari agenda aksi Lazismu yang sudah dirumuskan dalam lima tahun terakhir.
Pendekatan di dalam gerakan filantropi digambarkan oleh Hilman sebagai tiga kunci gerakan filantropi untuk inovasi sosial, yaitu Karitatif (Charity), Pembangunan (Development), serta Advokasi (Advocacy). Karikatif (Charity) bersifat jangka pendek, bantuan bersifat tanggap darurat atau bantuan langsung, dan perubahan yang dihasilkan hanyalah sementara. Sementara Pembangunan (Development) bersifat jangka menengah, bantuan yang diberikan bersifat stimulatif dan mendorong kemandirian, serta perubahan yang dilakukan gradual. Untuk pendekatan Advokasi (Advocacy) dilakukan dengan melibatkan pengambil kebijakan, merumuskan agenda perubahan kebijakan, berlangsung jangka panjang, serta melalui kebijakan pemerintah.
Inovasi sosial adalah gagasan dan implementasi dari solusi-solusi baru, inovatif, efektif, kreatif, menginspirasi, dan yang menggerakkan. Tujuannya adalah untuk peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup individu ataupun masyarakat, serta penyelesaian masalah-masalah sosial dan lingkungan. "Inovasi merupakan program terbaru yang belum pernah dilakukan oleh orang lain, atau sebenarnya selama ini kita hanya menjalankan bisnis 'as usual'. Seringkali inovasi tidak terpikirkan karena upaya kita dalam mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah secara kolektif tidak serius. Diskusi yang lebih terintegrasi jarang terjadi, sehingga yang terjadi hanya program-program rutinitas," ungkap Hilman.
Hilman melanjutkan, inovasi sosial bukan hanya mendistribusikan dana, melainkan berpikir lebih jauh tentang apa yang lebih efektif bermanfaat tentang apa yang bisa diterima masyarakat. Ia pun menerangkan, bentuk inovasi sosial memiliki banyak model, ada yang didorong oleh individu, ada yang sifatnya kelompok. "Perlu cara pandang yang lebih terbuka dalam memandang inovasi. Adanya jaringan harus benar-benar dimanfaatkan untuk melakukan akselerasi. Kemudian ditanyakan, jaringan yang dimiliki ini apakah sudah dapat dilakukan untuk akselerasi atau hanya sekedar menjadi rantai distribusi semata," imbuhnya.
Oleh karena itulah, menurut Hilman, dalam diskusi melalui Rakernas Lazismu 2022 ini diharapkan dapat menghasilkan gagasan-gagasan yang baru, serta membuka wawasan terhadap mitra-mitra baru yang potensial. Hilman menegaskan, "Dalam diskusi di level pimpinan ini kita bisa menemukan solusi-solusi baru yang penting, gagasan baru, model pendekatan baru, atau model mitra yang baru. Kalau tidak memiliki program yang baru akan membuka wawasan tentang mitra-mitra yang potensial yang mendukung yang baru."
Hilman kemudian memberikan contoh dalam program Trensains di Kabupaten Sragen. Sebelumnya, SMA Trensains Muhammadiyah Sragen tidak dilirik. Namun saat ini untuk masuk harus melalui antrian, bahkan kadang banyak calon siswa yang harus ditolak. "Ini karena inovasi yang dilakukan oleh Trensains dalam melakukan pelayanannya. Gus Pur (Agus Purwanto, perintis Trensains) menjadi inovator dalam menggerakkan Trensains sehingga menjadi seperti yang sekarang ini," jelas Hilman.
Ia juga menyebutkan, Muhammadiyah hari ini tidak memiliki platform belajar digital yang bisa dipakai sekolah-sekolah Muhammadiyah karena tidak ada yang bergerak dan fokus pada bidang tersebut. Hal ini penting terutama menyikapi kondisi pembelajaran hari ini. Selain itu, Hilman juga mengambil contoh dari program Bank Ziska dan Klinik Apung Said Tuhuleley. Keduanya merupakan inovasi yang sudah dilakukan saat ini. "Pertanyaannya sejauh mana kita mampu menjaga keberlanjutannya dari program tersebut. Program apapun yang dibuat selama tidak ada sosial inovator dan 'change maker' berat untuk berlangsung. Kita berbicara tentang kaderisasi, mitra amil potensial untuk mendukung keberlanjutannya," lanjut Hilman.
Menurut Hilman, Lazismu dengan enam pilar yang dimiliki harus dijalankan oleh orang-orang potensial. "Kita memiliki enam pilar, yang perlu dipikirkan adalah ke depannya apakah ada orang-orang yang berpotensi, memiliki program bagus namun tidak dilirik dan belum optimal karena tidak memiliki dukungan pendanaan yang cukup untuk bergerak," ucapnya.
Hilman melanjutkan, "Saran ke depannya untuk mendorong inovasi sosial perlu melakukan kerjasama yang baru sehingga tidak jago kandang. Mitra baru dari organisasi atau LSM yang baik, Laznas yang baik dan mitra dari korporasi. Inovasi sosial bisa didorong oleh perusahaan-perusahaan, Lazismu dapat hadir sebagai penggerak dan penghubung."
Terakhir, Hilman berpesan agar inovasi sosial yang dilakukan dapat mempertajam program sehingga menjadi program-program yang lebih baik lagi. "Inovasi sosial bukan berarti melakukan 'retouch' program yang ada, namun bisa mempertajam program yang saat ini dilakukan agar menjadi program yang lebih baik lagi. Ke depannya kita berharap sudah memiliki lebih banyak profil inovator-inovator di Muhammadiyah," pungkasnya.
[PR Lazismu PP Muhammadiyah/Nazhori Author]
Dalam paparannya, Hilman menyebutkan bahwa isu filantropi dan inovasi sosial saling mendukung dalam arah kerja Lazismu. Menurutnya, pergerakan filantropi Islam telah semakin berkembang, termasuk di Persyarikatan Muhammadiyah. Muhammadiyah sebagai payung organisiasi membutuhkan unit penopang gerakan yang lincah dan inovatif. Lazismu sebagai bagian dari gerakan filantropi Islam perlu memproyeksikan agenda perubahan yang lebih tertata, sistematis, berdampak luas dan berkelanjutan. Karena itulah, "Inovasi sosial" merupakan satu gagasan lanjutan dari agenda aksi Lazismu yang sudah dirumuskan dalam lima tahun terakhir.
Pendekatan di dalam gerakan filantropi digambarkan oleh Hilman sebagai tiga kunci gerakan filantropi untuk inovasi sosial, yaitu Karitatif (Charity), Pembangunan (Development), serta Advokasi (Advocacy). Karikatif (Charity) bersifat jangka pendek, bantuan bersifat tanggap darurat atau bantuan langsung, dan perubahan yang dihasilkan hanyalah sementara. Sementara Pembangunan (Development) bersifat jangka menengah, bantuan yang diberikan bersifat stimulatif dan mendorong kemandirian, serta perubahan yang dilakukan gradual. Untuk pendekatan Advokasi (Advocacy) dilakukan dengan melibatkan pengambil kebijakan, merumuskan agenda perubahan kebijakan, berlangsung jangka panjang, serta melalui kebijakan pemerintah.
Inovasi sosial adalah gagasan dan implementasi dari solusi-solusi baru, inovatif, efektif, kreatif, menginspirasi, dan yang menggerakkan. Tujuannya adalah untuk peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup individu ataupun masyarakat, serta penyelesaian masalah-masalah sosial dan lingkungan. "Inovasi merupakan program terbaru yang belum pernah dilakukan oleh orang lain, atau sebenarnya selama ini kita hanya menjalankan bisnis 'as usual'. Seringkali inovasi tidak terpikirkan karena upaya kita dalam mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah secara kolektif tidak serius. Diskusi yang lebih terintegrasi jarang terjadi, sehingga yang terjadi hanya program-program rutinitas," ungkap Hilman.
Hilman melanjutkan, inovasi sosial bukan hanya mendistribusikan dana, melainkan berpikir lebih jauh tentang apa yang lebih efektif bermanfaat tentang apa yang bisa diterima masyarakat. Ia pun menerangkan, bentuk inovasi sosial memiliki banyak model, ada yang didorong oleh individu, ada yang sifatnya kelompok. "Perlu cara pandang yang lebih terbuka dalam memandang inovasi. Adanya jaringan harus benar-benar dimanfaatkan untuk melakukan akselerasi. Kemudian ditanyakan, jaringan yang dimiliki ini apakah sudah dapat dilakukan untuk akselerasi atau hanya sekedar menjadi rantai distribusi semata," imbuhnya.
Oleh karena itulah, menurut Hilman, dalam diskusi melalui Rakernas Lazismu 2022 ini diharapkan dapat menghasilkan gagasan-gagasan yang baru, serta membuka wawasan terhadap mitra-mitra baru yang potensial. Hilman menegaskan, "Dalam diskusi di level pimpinan ini kita bisa menemukan solusi-solusi baru yang penting, gagasan baru, model pendekatan baru, atau model mitra yang baru. Kalau tidak memiliki program yang baru akan membuka wawasan tentang mitra-mitra yang potensial yang mendukung yang baru."
Hilman kemudian memberikan contoh dalam program Trensains di Kabupaten Sragen. Sebelumnya, SMA Trensains Muhammadiyah Sragen tidak dilirik. Namun saat ini untuk masuk harus melalui antrian, bahkan kadang banyak calon siswa yang harus ditolak. "Ini karena inovasi yang dilakukan oleh Trensains dalam melakukan pelayanannya. Gus Pur (Agus Purwanto, perintis Trensains) menjadi inovator dalam menggerakkan Trensains sehingga menjadi seperti yang sekarang ini," jelas Hilman.
Ia juga menyebutkan, Muhammadiyah hari ini tidak memiliki platform belajar digital yang bisa dipakai sekolah-sekolah Muhammadiyah karena tidak ada yang bergerak dan fokus pada bidang tersebut. Hal ini penting terutama menyikapi kondisi pembelajaran hari ini. Selain itu, Hilman juga mengambil contoh dari program Bank Ziska dan Klinik Apung Said Tuhuleley. Keduanya merupakan inovasi yang sudah dilakukan saat ini. "Pertanyaannya sejauh mana kita mampu menjaga keberlanjutannya dari program tersebut. Program apapun yang dibuat selama tidak ada sosial inovator dan 'change maker' berat untuk berlangsung. Kita berbicara tentang kaderisasi, mitra amil potensial untuk mendukung keberlanjutannya," lanjut Hilman.
Menurut Hilman, Lazismu dengan enam pilar yang dimiliki harus dijalankan oleh orang-orang potensial. "Kita memiliki enam pilar, yang perlu dipikirkan adalah ke depannya apakah ada orang-orang yang berpotensi, memiliki program bagus namun tidak dilirik dan belum optimal karena tidak memiliki dukungan pendanaan yang cukup untuk bergerak," ucapnya.
Hilman melanjutkan, "Saran ke depannya untuk mendorong inovasi sosial perlu melakukan kerjasama yang baru sehingga tidak jago kandang. Mitra baru dari organisasi atau LSM yang baik, Laznas yang baik dan mitra dari korporasi. Inovasi sosial bisa didorong oleh perusahaan-perusahaan, Lazismu dapat hadir sebagai penggerak dan penghubung."
Terakhir, Hilman berpesan agar inovasi sosial yang dilakukan dapat mempertajam program sehingga menjadi program-program yang lebih baik lagi. "Inovasi sosial bukan berarti melakukan 'retouch' program yang ada, namun bisa mempertajam program yang saat ini dilakukan agar menjadi program yang lebih baik lagi. Ke depannya kita berharap sudah memiliki lebih banyak profil inovator-inovator di Muhammadiyah," pungkasnya.
[PR Lazismu PP Muhammadiyah/Nazhori Author]