

Pangan menjadi sumber pengeluaran terbesar di masa pandemi. Maka perlu inisiatif untuk mendorong kemandirian pangan masyarakat. Pada saat yang sama, kemandirian pangan mampu mengatasi kerawanan pangan.
Di Indonesia, dulu ada tradisi kebun keluarga. Keluarga bisa mencukupi kebutuhan pangan melalui kebun masing-masing. Namun belakangan tradisi tersebut telah menghilang seiring meluasnya perkotaan dan tingginya angka urbanisasi.
Hal tersebut disampaikan oleh Hamid Abidin, Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia dalam kegiatan Public Expose Hasil Survei Dampak Sosial Ekonomi Covid-19 oleh Lazismu Pusat, Kamis (1/7).
Selain tantangan pangan, di tengah gempuran pandemi ada tantangan optimalisasi kerja dan perubahan model bisnis untuk mempertahankan bisnis. "Ada banyak lapangan kerja yang hilang karena dampak covid," ujarnya.
Selain itu, tantangan selanjutnya adalah kelompok rentan, terutama anak, perempuan, dan difabel. Perempuan memiliki beban ganda ketika pandemi. Anak-anak yang melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) membuat perempuan harus bekerja lebih keras. Pada saat yang sama, Hamid Abidin menyebut bahwa perempuan juga dituntut untuk bekerja membantu keluarga yang terdampak.
Jika melihat hasil survey dampak sosial ekonomi covid-19 Lazismu, kelompok rentan adalah kelompok yang paling terdampak pandemi. Dampak yang dirasakan jauh lebih besar daripada kelompok menengah ke atas.
"Dampak ini akan terkurangi jika lembaga filantropi membantu keluarga terdampak. Misalnya para relawan membantu anak-anak melaksanakan PJJ di rumah," imbuh Hamid Abidin. Anak-anak, menurut Hamid Abidin, mengalami dua ketertinggalan sekaligus. Yaitu ketertinggalan dalam pendidikan dan kesehatan.
Maka, lembaga filantropi harus mengawal strategi coping yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam temuan Lazismu, ada 5 strategi coping. Antara lain mencari pekerjaan sampingan, menggunakan tabungan, menjual aset, melakukan pinjaman, dan menerima bantuan dari pemerintah.
Hamid Abidin khawatir jika lembaga filantropi tidak turut mengawal coping yang dilakukan oleh masyarakat untuk bertahan di masa pandemi, masyarakat akan jatuh ke hal-hal negatif seperti rentenir atau pinjaman online.
"Maka perlu skema-skema pinjaman menggunakan aset, namun dalam waktu tertentu aset mereka harus kembali. Jangan sampai mereka sudah kesusahan, justru harus kehilangan aset untuk bertahan," paparnya.
Menurut hemat Hamid Abidin, bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah belum optimal, bahkan terkesan tumpang tindih. Ia berharap ada pengembangan data terpadu sehingga pemerintah bersama lembaga filantropi bisa melakukan pembagian peran untuk membantu masyarakat.
Ia mengusulkan agar pemerintah fokus pada kebutuhan dasar masyarakat, sementara lembaga filantropi di luar negara fokus pada pemberdayaan keluarga. Bagaimanapun, imbuhnya, pemenuhan kebutuhan dasar adalah tugas utama pemerintah.
Di sisi lain, hal yang positif di tengah badai pandemi adalah kemauan berderma masyarakat masih cukup tinggi. Temuan riset Lazismu ini juga relevan dengan temuan riset-riset lembaga lain. Indonesia menjadi negara paling dermawan sedunia.
"Covid tidak berdampak pada kegiatan sumbangan. Yang berdampak hanya pada jumlahnya, itu wajar karena tingkat ekonomi juga menurun," imbuh Hamid.
Hal ini sejalan dengan sikap masyarakat untuk membantu pasien covid-19 yang cukup tinggi.
Perubahan juga terjadi pada skema berderma. Di masa pandemi, masyarakat berderma melalui skema digital. Skema konvensional secara pelan-pelan mulai ditinggalkan. Maka, hal ini harus ditangkap oleh lembaga filantropi. Ia berpesan agar lembaga filantropi bisa ikut bergeser ke fundraising berbasis digital.
Reporter : Yusuf

