

PALEMBANG – Di hari jadi Lazismu yang ke – 22, Lazismu Kantor Layanan Bukit Kecil menggelar temu amil dan silaturahim. Agenda tersebut dihadiri oleh Ketua Badan Pengurus dan Sekretaris Dewan Pengawas Syariah Lazismu Kota Palembang pada Kamis, 4 Juli 2024, serta jajaran pengurusnya.
Kepala Kantor Layanan Lazismu Bukit Kecil, Maliki dalam sambutannya mengucapkan terima kasih atas kunjungan dan arahan yang diberikan oleh Lazismu Kota Palembang. Dia menyampaikan rasa syukur atas terbitnya SK Kepengurusan yang baru.
Alhamdulilah antusias warga muhammadiyah dalam menyalurkan zakat, infak, dan sedekah ke Kantor Layanan Bukit Kecil menunjukan peran Lazismu di sini sudah dikenal lebih dekat dengan masyarakat, katanya. Kepercayaan ini harus terus dijaga agar para donatur dapat berdonasi dalam program-program Lazismu yang beragam.
Pada kesempatan itu, Ketua Badan Pengurus Lazismu Kota Palembang, Kgs. M. Fahmi dalam kunjungannya menyampaikan bahwa temu amil kali ini bertujuan untuk memperkuat konsolidasi dan mendorong Lazismu di Bukit Kecil untuk semakin maju. Ia berharap Kantor Layanan Lazismu Bukit Kecil dapat terus berkembang dan menjadi lebih baik sehingga dapat membantu masyarakat lebih banyak.
Hal senada disampaikan Sekretaris Dewan Pengawas Syariah Lazismu Kota Palembang, Syarief Ali. Kata dia, selain silaturahim, kedatangannya juga untuk memberikan penguatan dan pembekalan dalam tata kelola administrasi Lazismu.
Ia berharap momentum ini dapat menjadi motivasi bagi Kantor Lazismu Lazismu Bukit Kecil agar bisa berinovasi dan lebih dikenal dekat lagi di mata masyarakat.
Bertepatan dengan hal itu, Ketua Badan Pengurus Lazismu Kota Palembang melakukan penyerahan SK Kepengurusan yang baru kepada Kantor Layanan Lazismu Bukit Kecil. Diharapkan dengan terbitnya SK baru kepengurusan yang baru ini diharapkan dapat meningkatkan kinerjanya dalam menghimpun dan menyalurkan dana ZISKA.
[Komunikasi dan Digitalisasi Lazismu PP Muhammadiyah/Andi Wijaya]

JAKARTA -- Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama RI menggelar webinar ekspos zakat dan wakaf “Akselerasi Pencapaian Pembangunan Berkelanjutan Melalui ZISWAF”, pada Kamis, 4 Juli 2024.
Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama RI menggandeng Lazismu dan Forum Nasional Himpunan Prodi Manajemen Zakat dan Wakaf (Fornas Mazwa) sebagai wujud sosialisasi dan edukasi tentang literasi zakat dan wakaf.
Dipandu oleh Muhammad Nizarul Asror selaku moderator, webinar ini merupakan agenda rutin setiap pekan yang akan berakhir di bulan Desember 2024. Dalam pengantarnya Nizarul Asror mengatakan literasi zakat dan wakaf adalah penting untuk dikenal masyarakat secara luas. Karena itu, publikasi dilakukan tidak hanya secara online tetapi melalui ragam saluran secara online.
Bertindak sebagai moderator, Nizarul Asror membuka webinar dengan kupasan singkat tentang kiprah Lazismu. Bagaimana tata kelola dan koordinasinya mengingat Lazismu jaringannya ada di seluruh Indonesia. Perihal ulasan singkatnya, jawabannya tentu akan dijawab oleh Lazismu yang diwakili oleh Direktur Utama Lazismu, Ibnu Tsani selaku narasumber.
Untuk menjawab hal itu, dalam kupasannya, Ibnu Tsani menjawab dari dua sisi, pertama dari aspek historis dan kedua dari aspek tata kelolanya. Merujuk pada Kisah Pergerakan Moehammadijah Bagian PKO di Djokja, yang ditulis Drijowongso dalam Suara Muhammadiyah (1923), aksi kebajikan muhammadiyah dalam pelayanan zakat dimulai pada pukul 7 sore hingga pukul 12 malam.
Dengan semakin banyaknya orang yang ingin berdonasi, maka layanan zakat harus dimulai pukul 6 pagi. Untuk kelancaran pendistribusian, muhammadiyah membagikan kupon kepada penerima zakat, tiga hari sebelum jadwal pendistribusian, jelas Ibnu Tsani mengutip sumber historis itu.
Upaya kreatif dilakukan muhammadiyah di masa perintisan berdirinya organisasi ini, berdasarkan rapat anggota yang dipimpin oleh KH. Ahmad Dahlan, muhammadiyah mengesahkan pendirian Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) pada tahun 1920.
Dilanjutkan pada Kongres ke- 16 tahun 1927 di Pekalongan, diputuskan bahwa muhammadiyah harus menjadi amil zakat. Inovasi kembali dilakukan muhammadiyah, salah satunya adalah mengusulkan kepada pemer intah kolonial Hindia-Belanda pada 4 April 1940, melaui surat nomor 44968/A4, 29 November 1940, tentang permohonan muhammadiyah mencetak dan menjual prangko yang pada akhirnya disetujui. Harga prangko bervariasi, mulai dari kisaran 2 sen, 3,5 sen, 7,5 sen, 10 sen, dan 15 sen.
Penjualan dikelola tim khusus, Hoofdcomite Franco Amal Muhammadijah. Ketua komite, Mas Mansur dan Sekretaris, S Tjitrosoebono. Periode penjualan, 22 September-31 Oktober 1941. Penjualan prangko dilakukan dengan menggandeng kantor pos dan menyediakan loket khusus penjualan. Tampilan prangko menyajikan gambar dan tema prangko yang memuat kiprah muhammadiyah dalam bidang kesejahteraan sosial. Seluruh prangko diberi tulisan PKO.
Tata kelola muhammadiyah dalam melaksanakan amil zakat, pada 1950 proses penghimpunannya dilakukan oleh Majelis Perbendaharaan yang bersinergi dengan PKO. Tentu saja dalam pekembangannya, kata Ibnu Tsani kajian fikih zakat mulai digiatkan dengan membahas konsep asnaf modern pada Muktamar muhammadiyah ke-36 di Bandung, yang menelurkan putusan bahwa zakat merupakan instrumen keadilan sosial.
Puncak kajian zakat di muhammadiyah kian menggelora setelah diterbitkannya buku berjudul al-Amwal fi al-Islam sebagai hasil muktamar muhammadiyah ke-20 di Garut. Tiga tahun berikutnya menurut Ibnu Tsani merujuk akar historisnya bahwa muhammadiyah menegaskan gerakan filantropinya dengan memunculkan kebijakan tentang Realisasi Gerakan Zakat Muhammadiyah.
Wacana progresif kajian zakat tidak berhenti dalam gerakannya yang berkarakter khas Al-Maun, tapi pada dekade 1970-an beberapa tokoh di Jawa Tengah seperti KH. Abdul Barie Sho’im asal Kendal menulis makalah yang berjudul Zakat Kita: Zakat Yang Direalisasikan, yang dalam perjalanannya di Kendal terbentuklah Badan Penyelenggara Urusan Zakat Muhammadiyah (Bapelurzam).
Barulah kemudian di tahun 2002, Lazismu resmi menjadi lembaga amil zakat nasional yang secara undang-undang zakat mendapat tugas penghimpunan dan pendayagunaan. Tata kelolanya dikemas lebih modern dengan bertambahnya jumlah amil eksekutif di seluruh Indonesia yang diikuti dengan transformasi brand Lazismu yang tampilannya lebih estetik dan bermakna.
Dari aspek tata kelola, sambung Ibnu Tsani, bahwa Lazismu memiliki rencana strategis (renstra) yang dimulai dari tahun 2021 – 2025. “Inilah dasar rujukan program penghimpunan dan pendayagunaan Lazismu yang berlaku secara nasional dengan 6 pilar programnya yaitu pendidikan, sosial dakwah, ekonomi, kesehatan, kemanusiaan dan lingkungan sebagai program yang realtif baru diawal tahun 2020 muncul sebagai respons dan amanat muktamar muhammadiyah di Makassar tahun 2015, tentang krisis iklim,” tandasnya.
Beberapa acuan lainnya adalah Lazismu membuat peta jalan (road map) dalam kerangka komunikasi dan pendataan digital dan integrasi yang terus dikonsolidasikan sebagai big data dan mengembangkan ekosistem Lazismu.
Ibnu Tsani mengatakan apa yang termuat dalam indikator kinerja aksi layanan (IKAL), merupakan isi rencana capaian kegiatan yang bisa terukur serta target yang dicapai Lazismu dalam realisasinya secara nasional.
Indikatornya adalah adanya baseline dan target spesifik angka dari renstra yang jadi referensi dan disosialisasikan ke pelaksana dalam kemitraan program Lazismu. Dia menegaskan bahwa Lazismu dalam pelaksanaannya bukan implemantator program tapi menghimpun dan penyalurannya bersinergi dengan mitra. Karena itu Lazismu fokus pada tiga ranah dalam implementasi program yang terdiri dari 6 pilar.
“Fokusnya antara lain telaah proposal dari calon mitra, monitoring dan evaluasi, dan telaah laporan akhir dari mitra sebagai alur kerja dalam konteks penyaluran dan pendistribusian, di mana mitranya dari internal dan eksternal muhammadiyah,” pungkasnya.
Jadi dalam skemanya, lanjut Ibnu Tsani, ada siklus yang berjalan antara lain penghimpunan, penyaluran dan pelaporan. Renstra akan berakhir di 2025, secara konseptual akan dievaluasi untuk bisa dipertahankan atau ada inovasi lain dari pendekatan program.
Sebagi contoh katanya, pilar pendidikan yang mendapat sambutan positif dari masyarakat dan entitas profesional adalah Edutabmu. Program pendidikan yang dikemas dengan inovasi sosial yang didalamnya materi pembelajaran dihadirkan dengan dukungan teknologi digital. Terobosan ini sangat membantu siswa khususnya sekolah dasar dan para guru di muhammadiyah.
Unsur pembelajaran yang ditonjolkan adalah matematika dan Bahasa inggris sehingga memantik ketertarikan proses pembelajaran. Program yang dimulai tahun 2022 sampai sekarang ini diganjar oleh Bapenas sebagai program terbaik kategori filantropi yang mendukung capaian SDGs.
Program ini kata Ibnu Tsani menyasar penerima manfaat sebanyak 3097 peserta didik tingkat sekolah dasar di 54 sekolah dasar dengan sebaran tablet edutabmu sejumlah 825 unit yang meliputi kawasan Sumatera Utara, Bangka Belitung, Lampung, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.
Tak hanya itu, Lazismu juga menyuguhkan program menarik lainnya di kawasan terluar, terdepan dan tertinggal (3T) dengan menghadirkan Klinik Apung Said Tuhuleley. Dari program ini Lazismu memberikan layanan kesehatan berupa edukasi, pemeriksaan, pengobatan gratis dan khitan.
Terisolirnya kawasan ini di kepulauan Maluku dengan segala keterbatasannya dan berdasarkan informasi dari masyarakat dan penerima manfaat, jangkauan layanan Klinik Apung Said Tuhuleley diperluas dengan layanan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat seperti layanan perbaikan sarana pendidikan dan perbaikan sarana pertanian dan perikanan.
Lazismu juga bermitra dengan Baznas dalam kolaborasi program yang inilah program kolaborasi dengan Baznas yang manfaatnya dirasakan oleh warga setempat. Lokasi ekspedisinya meliputi pulau ambon, Maluku Tengah, Seram Bagian Timur dan Bagian Barat. Total penerima manfaatnya dari Maret 2022 – Mei 2023 sebanyak 2736 jiwa.
Merespons capaian Sustainable Development Goals (SDGs), Ibnu Tsani mengatakan bahwa renstra Lazismu adalah komitmen tentang SDGs, jadi bagi Lazismu dan keluarga besar muhammadiyah, SDGs adalah bagian dari Islam Rahmatan lil Alamin. Setiap pilar program ada aspek SDGs sehingga dampaknya bagi Lazismu, Bapenas memberikan penghargaan sebagai pemenang terbaik kategori filantropi.
Kedepannya Lazismu terus berinovasi dengan menyiapkan pilot project pengembangan kawasan berbasis desa, Lazismu melaksanakan ini karena amanat keputusan rakernas Lazismu di Palembang. Satu desa akan kami optimalkan dalam 6 pilar program dan SDGs, yang sampai detik ini sedang proses mewujudkan dan menyiapkan panduan operasionalnya.
Menanggapi hal itu, Pranggono Kusumo yang hadir online dari Kalimantan Utara (Kaltara) mengatakan, bagaimana dengan kehadiran Lazismu di sana. Ini penting sebagai keberadaan Lazismu di Kalimantan Utara yang sampai saat ini masih belum hadir di tengah masyarakat.
Ibnu Tsani menuturkan, di suatu kawasan yang masuk dalam pemekaran secara geografis, perlu pertimbangan matang. Tidak hanya soal sumber daya amil dan kesiapannya, tapi juga segala persyaratannya yang ada sehingga nanti dalam prosesnya tidak mengalami kendala.
Ini kami masih menyiapkan langkah – langkah koordinasinya, mewakili Lazismu kami ucapkan terima kasih atas informasinya dan akan kami koordinasikan lebih matang lagi sebagai tindak lanjut supaya Lazismu bisa hadir di Kaltara.
Peserta yang turut hadir kembali melemparkan pertanyaan soal wakaf kepada Ibnu Tsani. Bagiamana wakaf yang dikelola oleh Lazismu. Ibnu tsani menjawab, pada prinsipnya Lazismu secara legalitas hanya menghimpun dan menyalurkan. Adapun soal wakaf sudah ada Majelis Wakaf di muhammadiyah.
Dalam beberapa aspek tertentu Lazismu menerima wakaf dari masyarakat. Namun dalam tata kelolanya Lazismu memfasilitasi dengan majelis wakaf muhammadiyah yang secara terstruktur sama dengan Lazismu ada di seluruh wilayah.
Ada layanan wakaf yang statusnya bisa diumumkan Lazismu dan berapa besarannya, ini dilengkapi dengan berita acara yang mekanismenya kami fasilitasi dan sediakan dalam saluran aktivasinya.
Dalam kesempatan itu, Ibnu Tsani menanggapi pertanyaan Latief mengenai sasaran distribusi program Lazismu dan muzaki apakah hanya dari kalangan simpatisan dan warga muhammadiyah. Pada intinya Lazismu bergerak secara terbuka (inklusif). Sasaran muzakinya tidak terbatas pada internal muhammadiyah tapi ada juga yang non muhammadiyah serta korporasi baik level nasional dan multinasional yang menyalurkan dana CSR dan zakat perusahaannya.
Termasuk dalam penyalurannya, di luar internal muhammadiyah sasaran penerima manfaatnya lebh luas termasuk masyrakat pada umumnya. Ibnu Tsani memberikan contoh di Indonesia Timur, bagaimana muhammadiyah melakukan pendampingan dan layanan di pilar pendidikan yang mayoritas tidak beragama Islam.
Di luar pembahasan di atas, Ibnu Tsani mengakui bahwa dalam proses tata kelola Lazismu tidak semudah yang diduga. Karena Lazismu tumbuh dari bawah yang berbeda dengan lembaga amil zakat di luar ormas.
Luasnya jaringan Lazismu menjadi tantangan tersendiri untuk menemukan jawabannya di kemudian hari, kata Ibnu Tsani. Pekerjaan rumah lainnya adalah bagaimana Lazismu menyikapi generasi Z yang perlu diedukasi soal zakat.
Karena karakter mereka tidak bisa didekati dengan jalur formal, melainkan dengan pendekatan yang lebih luwes salah satunya dengan edukasi konten yang sesuai dengan kebiasaan mereka dalam mengakses informasi di sosial media.
Bahkan temuan riset dari RnD Lazismu, kata Ibnu Tsani, masyarakat mengenal zakat dari masjid dan majelis taklim. Berdasarkan temuan itu, Lazismu sedapat mungkin mengkoordinasikan ke Lazismu tingkat wilayah sampai dengan kantor layanan untuk perlu melakukan edukasi di akar rumput yang berbasis masjid.
Dengan memanfaatkan struktur muhammadiyah yang unik dan berjenjang sampai kantor layanan inilah sosialisasi dilakukan dalam gerakan zakat di muhammadiyah. Potensi masjid karena itu, kata dia, perlu dioptimalkan mengingat masyarakat akan pengetahuan zakatnya masih pada tahap kategori zakat fitrah. “Maka di sinilah peran kantor layanan Lazismu untuk memperkenalkan zakat harta (maal) kepada masyarakat,” tutupnya.
[Divisi Komunikasi dan Digitalisasi Lazismu PP Muhammadiyah

PONOROGO – Lazismu Kabupaten Ponorogo kembali menggelar program Khitan Massal. Acara khitan ini diselenggarakan pada Minggu, 23 Juni 2024 di SD Muhammadiyah Inovatif, Desa Bajang, Mlarak, Pnorogo. Terselenggara atas kolaborasi Lazismu dengan Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Mlarak dan Rumah Sunat Gembira.
Proses khitan massal menyasar penerima manfaat yang berasal dari warga sekitar. Tercatat ada 14 peserta yang mengikuti kegiatan rutin ini yang didukung penuh oleh Lazismu Kabupaten Ponorogo. Yang berbeda dari tindakan medisnya adalah menggunakan metode baru yaitu Triple Sealer, sehingga selain pendekatan teknisnya yang modern, cara ini mampu memberikan kenyamanan dan keamanan bagi peserta khitan.
Hal in diakui oleh Manajer Lazismu Kabupaten Ponorogo, Sigit Hariyanto, yang memastikan bahwa liburan sekolah menjadi lebih gembira dengan program khitan massal. “Kegiatan ini merupakan agenda rutin, momentum liburan sekolah menjadi waktu yang tepat,” jelasnya.
Tidak hanya itu, Lazismu bersinergi dengan SD/MI Muhammadiyah se-Ponorogo. Aksi kepedulian tersebut adalah wujud kehadiran Muhammadiyah dan Lazismu Ponorogo dalam pemenuhan aspek kesehatan bagi masyarakat," ucapnya.
Perihal metode Triple Sealer, lebih rinci Sigit mengatakan khitan dengan tindakan medis seperti ini bagi pererta dapat meminimalisir rasa sakit. Peserta merasa aman dan nyaman karena dokter tetap mengedepankan hasil yang estetik dikulit dan cepat sembuh. Kata dia, anak-anak lebih nyaman dan lekas pulih dalam beberapa hari pasca khitan.
Program Khitan Masal ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan Lazismu Kabupaten Ponorogo dalam meningkatkan kesehatan masyarakat melalui penyediaan layanan kesehatan yang gratis. Di smaping itu, kerja sama dengan PCM Mlarak dan Rumah Sunat Gembira menunjukkan komitmen kuat dalam memberikan layanan terbaik bagi masyarakat.
Lazismu Kabupaten Ponorogo juga terus berupaya untuk menjalin kerja sama dengan berbagai pihak dalam rangka mendukung program-program sosial dan kesehatan lainnya. Melalui program seperti Khitan Massal yang dilaksanakan secara gratis ini, Lazismu Kabupaten Ponorogo juga berharap dapat terus memberikan manfaat nyata bagi masyarakat Ponorogo dan sekitarnya.
[Komunikasi dan Digitalisasi Lazismu PP Muhammadiyah/Fandi]


TURKI -- Semangat Idul Adha juga dirasakan di mancanegara. Di Turki, Muhammadiyah juga turut berbagi kebahagiaan dengan melaksanakan program Qurbanmu. Kegiatan ini bekerja sama dengan lembaga lokal Turki yaitu Beyaz Köprü.
Melalui Kantor Layanan (KL) Lazismu Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Turki, kegiatan ini dilaksanakan pada Ahad-Senin (16-17/06). Program kolaborasi ini telah disepakati oleh Kepala KL Lazismu PCIM Turki, Tri Julia Wulandari bersama dengan Hasım Karataş yang mewakili Beyaz Köprü.
Bentuk kerja sama meliputi penyembelihan, penyaluran, dan pendistribusian daging kurban di salah satu negara benua Afrika, yaitu Chad, sebuah negara di Afrika Tengah yang terkurung daratan. Program tahunan KL Lazismu PCIM Turki ini sukses menghimpun kurban berupa sapi kolektif. Para donatur kurban kebanyakan berasal dari warga Indonesia yang tinggal di berbagai wilayah di Turki.
Tidak berhenti sampai di sini, Qurbanmu KL Lazismu PCIM Turki juga menyediakan program Sedekah Qurban. Program ini ditujukan bagi mereka yang belum mampu untuk berkurban namun ingin turut berkontribusi tahun ini. Bentuknya berupa sedekah yang akan disalurkan kepada mereka yang membutuhkan.
Kegiatan Qurbanmu pada tahun ini yang mengusung tagline "Bahagiakan Sesama" diharapkan dapat membawa angin segar serta melahirkan jiwa-jiwa kebaikan bagi mereka yang membutuhkan. Kehadiran Lazismu di Turki selama ini telah menjawab berbagai kebutuhan, khususnya bagi masyarakat Indonesia terkait penyaluran zakat, infak, sedekah, maupun kurban. Ke depannya, berbagai manfaat yang disebarkan tersebut bisa dirasakan lebih luas dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat yang ada di Turki.
[Komunikasi dan Digitalisasi Lazismu PP Muhammadiyah/Kelana]

JAKARTA -- Fatwa dalam hukum Islam selalu menyertai aspek ibadah yang dilakukan oleh umat Islam, baik ibadah yang sifatnya umum maupun ibadah yang sifanya terikat oleh waktu. Di samping itu, persoalan yang dihadapi umat islam kian kompleks seiring dengan perubahan sosial dan zaman, yang pada akhirnya membutuhkan jawaban sebagai solusi terutama dengan jalan ijtihad.
Bagi Lazismu sebagai lembaga amil zakat nasional, persoalan zakat tidak berhenti pada zakat fitrah, tetapi juga zakat harta (maal) yang bertalian dengan hubungan timbal balik antara muzaki dan mustahik. Mustahik pun sebagai penerima manfaat (asnaf) memerlukan kajian lebih lanjut untuk memposisikan asnaf yang tepat seiring dengan perubahan sosial apakah layak keberadaannya disebut penerima manfaat secara tekstual padahal dalam makna dan kasus tertentu perlu penggalian makna yang sesuai dengan spirit zaman.
Karena itu, pada hari Jumat, (28/6/2024) Lazismu menggelar kajian (Ziska Talk) mengupas seputar Fatwa Tarjih dan Fatwa MUI tentang isu-isu zakat kontemporer. Hadir dalam kajian daring yakni Erni Juliana Hasanah Nasution selaku Bendahara MUI dan Dosen ITB Ahmad Dahlan sebagai pemateri pertama. Dari sisi Tarjih hadir Izza Rohman selaku Dewan Pengawas Syariah (DPS) Lazismu Pusat. Kajian daring ini berjalan dinamis yang dipandu oleh Hafizh Syafaaturahman selaku Direktur Kelembagaan dan SDA Lazismu Pusat.
Direktur Utama Lazismu, Ibnu Tsani dalam pengantarnya mengatakan, salah satu tugas yang melekat pada Dewan Pengawas Syariah Lazismu adalah membuat opini syariah. Lalu siapa yang berhak mengeluarkan Fatwa secara syariah? Kalau dalam koteks persyarikatan Muhammadiyah, otoritas ada di lembaga tarjih. Kendati dalam Muhammadiyah keputusan tertinggi itu merujuk pada munas tarjih yang secara hirarki menjadi karakteristik Muhammadiyah.
Salah satunya, sambung Ibnu Tsani, merujuk pada fatwa atau dokumen yang diputuskan oleh munas tarjih. “Dalam aspek undang-undang zakat, yang dijadikan rujukan dalam audit syariah fatwa yang dikeluarkan oleh MUI dan menjadi bagian penting dalam proses putusan fatwa tarjih,” jelasnya.
Berdasarkan audit syariah yang dilakukan Lazismu, belum ditemukan adanya perbedaan antara MUI dan DPS. Tetapi memang berdasarkan hasil interkasi dalam beberapa aspek, kata dia, ada semacam keraguan. Contohnya apakah Muhammadiyah dalam hirarkinya berhak menerima dana zakat atau menggunakan dana ZISKA. Itu salah satu keraguan yang muncul.
Padahal dalam kajian tarjih, persyarikatan bisa memperoleh dan menggunakan dana ZISKA dalam konteks fi sabilillah. Apakah persyarikatan berhak menggunakan dana ZISKA? Secara garis besar jawabannya bahwa keuangan persyarikatan Muhammadiyah berasal dari ZISKA dan telah diatur dalam anggaran rumah tangga Muhammadiyah termasuk dari dana yang tidak mengikat.
Ini kerangka berpikirnya, kata Ibnu Tsani. Dan sebagai pintu masuk untuk mengupas dana ZISKA yang berhak digunakan oleh Muhammadiyah. Sementara dalam aspek tertentu kajian DPS mengeluarkan opini perihal konsep pengeluaran zakat sepanjang tahun.
Sedangkan MUI dalam kajian seputar zakat fitrah harus sesegera mungkin disalurkan tetapi boleh dilakukan jika ada uzur syar’i. Sekali lagi atas nama Lazismu kami mengucapkan terima kasih kepada hadirin yang telah bergabung di forum ini dari Lazismu wilayah seluruh Indonesia atas waktu luangnya ikut dalam kajian ini.
Perlu diketahui kajian ini merupakan hasil riset dan program R & D Lazismu Pusat yang kemudian direview sebagai tema-tema yang diusulkan untuk kajian lebih lanjut. Salah satunya, kata dia, pada kajian kali ini sebagai ikhtiar kritis dalam merespons persolaan zakat.
Dalam paparannya di sesi pertama, Erni Juliana menjelaskan ada banyak fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tentang zakat. Terhitung mulai dari kurun waktu tahun 1982 – 2024. Ada dimensi ibadah dan sosial (muamalah) yang melatarbelakanginya. Luasnya dimensi sosial zakat membuat muncul ragam kajian dan persoalan yang memerlukan jawaban.
“Karena itu perlu interpretasi dalam aktivitas ijtihad yang kontekstual sesuai dengan tuntutan zaman,” katanya. Ijtihad adalah solusi yang perlu dilakukan, karena kebutuhan yang tiada henti. Kemudian bagaimana dengan fatwa sebagai salah satu manifestasi dari produk ijtihad. Fatwa merupakan respons atas suatu masalah atau pertanyaan masyarakat maupun nasihat resmi yang dikeluarkan oleh lembaga tertentu berdasarkan kajian ilmiah.
Karakteristik fatwa itu secara resmi memberikan arah pedoman terhadap apa - apa yang boleh dan haram, sunah dan apa yang perlu ditinggalkan memerlukan kesimpuian hukum. Itu tidak mudah, perlu argumentasi yang kuat dan kajian yang mendasar atas suatu persoalan.
Di era modern fatwa penting bagi umat islam, Misalnya saat Covid-19 kemarin, yang cukup banyak persoalan dihadapi umat islam, contohnya dalam persoalan ibadah yang sifatnya berjamaah dan muamalah sehingga memerlukan fatwa.
Merujuk Ibnu Qoyim, kata Erni Juliana bahwa fatwa bisa diperbaharui dan dikaji lebih jauh untuk menghasilkan suatu putusan bagi umat Islam. Ada idealisme antara agama dengan realitas sosial dan konteks zaman di mana masyarakat hidup sekarang ini sebagai relevansinya.
Ada hasil penelitian MUI tentang fatwa zakat yang diketahui berjumlah 167 fatwa yang dikeluarkan pada tahun 1926 oleh NU sebanyak 46, dan oleh Muhammadiyah sebanyak 94 pada tahun 1950, dan 27 fatwa yang dikeluarkan oleh MUI pada tahun 1982.
Menurutnya NU merupakan lembaga yang mengeluarkan fatwa pertama kali tentang zakat untuk pembangunan masjid. “Saat itu pembangunan masjid menjadi isu zakat kontemporer yang baru, ketika itu NU (batsul masail) dalam putusannya dana zakat belum boleh untuk pembangunan masjid”, bebernya.
Barulah kemudian Muhammadiyah dengan fatwa zakat pertamanya, sifatnya masih mengulang yang ada dalam Al-qur’an dan sunah yang terkompilasi dalam kitab zakat. Barulah MUI selanjutnya mengeluarkan fatwa zakat pertamanya yang tidak lepas dari situasi politik saat itu, tentang intensifikasi pelaksanaan zakat, kami melihat fatwa - fatwa tersebut juga ada persoalan zakat dari sektor jasa.
Dan Muhammadiyah paling banyak menghasilkan fatwa sebanyak 94 putusan. Kemudian majelis ulama Indonesia sendiri baru 27 fatwa seputar zakat. Selain zakat yang berkaitan dengan isu kontemporer seperti zakat penghasilan, zakat perusahaan, dan zakat saham, MUI juga mengkaji soal zakat atas suatu barang yang digadaikan.
Termasuk zakat dari profesi kekinian seperti youtuber, selebgram, pelaku ekonomi kreatif digital lainnya yang perlu mendapat perhatian dari fatwa seputar zakat.
Yang menarik dalam kajian yang disampaikan oleh MUI menurut Erni Juliana adalah Zakat al-mustaghalat. Yaitu zakat yang dikeluarkan dari seseorang yang memiliki kekayaan di mana sumber penghasilannya mengalami pertumbuhan atau pendapatan bagi pemiliknya.
“Singkatnya zakat dari semua harta yang dimiliki seseorang yang dapat menghasillkan suatu pendapatan,” jelasnya. Ada barang yang bernilai dan keberadaanya tetap, tapi menghasilkan nilai ekonomi, seperti kos-kosan, home stay, kontrakan dan lainnya.
Fatwa –fatwa dari MUI inilah yang bisa dijadikan pedoman untuk masyarakat dalam konteks untuk mengeluarkan zakat bagi yang memiliki kategori zakat al-mustaghalat. Di sisi lain, MUI juga mengeluarkan fatwa pendistribusian zakat, seperti zakat untuk bantuan hukum, zakat untuk beasiswa dan zakat untuk bencana serta lainnya.
Dalam kerangka manajemen zakat, MUI dalam fatwanya juga mengeluarkan banyak kajian, salah satunya antara lain soal hukum zakat atas harta haram, kemaslahatan umum dan status dana zakat. Selanjutnya Erni Juliana menggariskan bahwa fatwa zakat MUI merupakan sumber rujukan negara dalam membuat regulasi mengenai pengelolaan zakat yang selanjutnya diatur oleh Kementerian Agama Republik Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama, Dewan Pengawas Syariah Lazismu Pusat, Izza Rohman , mengatakan bahwa paparan dari pembicara utama telah banyak dibeberkan tentang fatwa-fatwa dari MUI. Muhammadiyah adalah organisasi tidak memilih jalan mazhab.
Dengan tetap mempertimbangkan dan mengapresiasi mazhab yang ada dan melampaui salafisme, dan mencoba kembali ke Al-qur’an dan sunah, tetapi memiliki manhaj yang sangat kompleks dan berkemajuan (sofisticated) dan menghargai serta mengakui pendekatan epistemologi yang beragam dalam pemikiran islam, yaitu epistemologi bayani, burhani dan irfani.
Ketiga epistemologi tersebut digunakan secara dinamis dan diupayakan agar tidak ada yang terabaikan dalam menghasilkan pandangan-pandangan keagamaan. Produk hukum ketarjihan dibangun di atas asumsi bahwa setiap hukum dilandasi oleh al – qiyam al-asasiyah, kemudian dilandasi lagi oleh al-ushul al-kulliyah dan terkahir dilandasi oleh al-ahkam al-far’iyyah.
“Yang kedua dan terakhir dipayungi oleh yang asas dan yang kedua memayungi hukum – hukum yang bercabang dalam kajian fikih islam,” jelasnya.
Izza lantas memberikan gambaran bagaimana merumuskan pandangan keagamaan tidak secara instans tapi melalui proses yang hati - hati dan bertanggung jawab secara kolektif. Ini juga perlu mengaperesiasi di luar Muhammadiyah apalagi dalam kehidupan keagamaan yang berhubungan dengan produk hukum negara.
Ada produk pemikiran tarjih yang perlu disampaikan di forum ini, antara lain putusan, fatwa dan wacana. Karena itu, dalam konteks kajian ini perlu dibedakan apa itu putusan tarjih, fatwa dan wacana tarjih. Semua itu, lanjut Izza ada unsur partisipasi, mekanisme, sistematika, dan daya ikat.
Misalnya, kata Izza dalam putusan tarjih ada banyak partisipasi yang perlu dilibatkan. “Bahkan untuk menghasilkan keputusan itu Muhammadiyah perlu melibatkan pihak-pihak ulama yang berkompeten dari luar untuk menjadi bahan masukan, saran dan pertimbangan, pungkasnya. Prosesnya lebih sistematis, mendalam dan analitik sehingga daya pikatnya memancing kajian lebih dalam.
Sedangkan fatwa melibatkan partisipasi majelis tarjih dan tajdid Muhammadiyah. Atau sedikit lebih luas majelis tarjihnya sendiri. Secara umum melibatkan pusat saja. “Mekanismenya cukup panjang karena memerlukan waktu yang lama melalui kajian, diskusi, seminar dan halaqoh, yang kemudian dibawa dalam munas tarjih.
Sehingga kata Izza, hasilnya bisa direvisi agar lebih memadai dan dibawa ke pimpinan pusat muhammadiyah untuk bisa ditanfizkan secara mekanisme organisasi Muhammadiyah. Dan fatwa ini biasanya ada pihak yang bertanya ke majelis tarjih, kemudia direspons sebagai jawaban yang sifatnya memberikan pandangan- pandangan ulama terhadap persoalan itu berdasarkan hukum yang dilengkapi Al-qur’an dan sunah secara sederhana tapi berbobot.
Uniknya mekanisme fatwa ini bisa dijawab langsung kepada penanya dan bahkan bisa dijawab dalam waktu tertentu yang kemudian dipublikasikan dalam media resmi Muhammadiyah. Dan daya ikatnya secara dispilin organisasi tidak ada pilihan lain termasuk di struktur muhammadiyah untuk merujuk suatu putusan dari organisasi.
Kalau soal wacana biasanya kajian – kajian banyak pihak yang kemudian dikompilasi dalam jurnal tarjih yang sebelumnya juga dilakukan review dan peninjauan tanpa mengurangi substansi isinya. Sistematikanya dilakukan dalam kajian akademis dan tak mengurangi daya pikatnya.
Jika fokus terhadap fatwa tajih seputar zakat, sambung Izza, dari sisi pihak mana yang membutuhkan secara langsung, ada yang dari muzaki, amil dan yang dibutuhkan oleh mustahik. Bahkan yang dibutuhkan oleh pihak lain seperti negara atau lembaga yang mengatur jalannya mekanisme undang – undang di negara kita.
Dari sudut pandang muzaki, fatwa tarjih tentang muzaki lebih kepada soal pemahaman, penghitungan, pembayaran dan aspek aspek lain, yang paling banyak adalah fatwa soal pemahaman tentang zakat dan kriteria serta jenisnya. Ini sangat dibutuhkan oleh muzaki jika boleh usul ke Lazismu, saya pikir penting untuk disosialisasikan fatwa-fatwa tarjih yang berkaitan dengan pemahaman yang dibutuhkan untuk menjadi wajib zakat.
Ini sangat membantu proses penghimpunan di Lazismu dan lembaga amil zakat secara lebih luas dan ada pencerahan, apalagi di sini banyak amil yang hadir dan juga dibutuhkan dalam tata kelolanya di lembaga amil zakat.
Yang paling sering juga bertalian dengan pendistribusian, contohnya fatwa tarjih soal penyaluran yang sudah disinggung oleh Ibnu Tsani di awal dan sering ditanyakan juga soal pentasarufan. Hal ini diklasifikasi lagi yang tertuju pada zakat harta (maal) dan fitrah, keduanya sebagai zakat yang berkaitan dengan penyaluran.
Banyak sekali fatwa di buku tanya jawab agama dan sumber sumber fatwa tarjih itu berada. Soal penyaluran ini rujukannya adalah surat At-Taubah ayat 60. Ini inspirasi buat amil, bahwa distribusi zakat perlu didasari ilmu dan kearifan sosial. Tidak semata terdistribusi lalu habis, dan tanggung jawabnya selesai, tetapi lebih dari itu.
Ilmu menjadi penting sebagai basis pengetahuan, berapa yang terkumpul dan berapa yang dibagikan, dan kearifan sosial menjadi etika dan prinsip dalam pentasarufan yang terikat dalam ayat tersebut yang sifatnya sudah fardlu (berdasarkan ketentuan). Ayat ini bicara delapan asnaf, tapi ada dua kategori, 6 masuk individu dan mengelola individu yaitu lembaga. Ini langsung secara personal atau lembaga yang mengurusi individu ini.
Lalu yang dua lagi itu riqab dan fi sabilillah, karena dalam ayat tersebut pakai kata Fii yang memuat unsur kemaslahatan publik. Jadi fi sabilillah bukan untuk kebutuhan individu, tapi untuk kepentingan jihad fi sabilillah-nya.
Dalam tarjih ada fatwa yang prioritasnya dibagikan dalam asnaf yang ada. Sebaiknya dibagikan dalam seluruh asnaf, tapi jika tidak memungkinkan yang paling membutuhkan di antaranya argumen bahwa zakat berfungsi untuk menutup kebutuhan.
Ada fakir miskin yang butuh kebutuhan pokok dan menutup kebutuhan itu dengan zakat. Ada yang berkaitan dengan cakupan asnaf, yang terkait dengan riqab dan fi sabilillah.
Saya belum bicara putusan, karena bicara fatwa. Misalnya soal riqab dan sabilillah. Riqab selain mencakup budak yang berusaha membebaskan dirinya dari tuannya maupun suatu bangsa yang sedang dilanda eksploitasi dan berjuang menuju kemerdekaan ini bisa diberikan kebutuhannya.
Sabilillah mencakup kebutuhan kepentingan umum, bagi tegaknya negara dan agama. Tapi ada peringatan juga yang saya temukan, fi sabilillah tidak dimaknai sempit dan luas yang merusak kategori makna fi sabililah jika terlalu banyak daftarnya sementara yang lain sedikit.
Kemudian ada juga batasan mualaf, menurut fatwa tarjih bersifat kondisional dan situasional sebagai batasan waktu. Kebijakan kaum muslimin dan pemimpin didasari musyawarah yang juga berpijak pada pertimbangan agama. Tidak untuk selamanya tapi sampai kapan seseorang itu terikat dan disebut mualaf dan secara fikih zakat berdasarkan kepentingan agama mengapa mualaf mendapatkan zakat agar tertarik untuk kemantapan dalam berislam.
Lalu ada fatwa untuk organisasi, seperti apa fatwa tarjihnya, adalah zakat maal tidak boleh untuk keperluan organisasi kecuali organisasi tersebut bergerak di bidang dakwah. Argumennya menurut Izza, karena bisa dikategorikan sebagai fi sabilillah. Dengan catatan tidak bisa mengabaikan bagian fakir miskin. "Jangan sampai mengabaikan fakir miskin dan asnaf lain yang membutuhkan," tegasnya.
Meskipun ada dalil yang menekankan tentang peralihan kekuatan ekonomi itu bisa bergulir atau tidak terpusat pada sekelompok orang tertentu. Harus bisa bermanfaat untuk orang lain yang bisa diberdayakan.
Organisasi zakat manapun asnaf sabilillah bisa menerima zakat. Tapi muhammadiyah dalam pengelola zakat harus menyampaikan zakat kepada yang berhak menerimanya. Dan tidak semuanya untuk muhammadiyah, tapi mustahik dalam jangkauan yang lebih luas.
Dalam kesempatan berbeda fatwa zakat tentang perlombaaan yang berhadiah, untuk kepentingan syiar bisa diambil dana zakat untuk kebaikan dalam rangka memajukan agama bisa diambil dari bagian sabilillah.
Lalu, apakah bisa zakat untuk membeli hewan kurban. Fatwa tarjih yang menerima pertanyaan ini jawabannya tidak boleh, karena lanjut Izza, berkurban hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah mampu untuk berkurban. Jadi tidak perlu memaksakan orang berkurban dari dana zakat apalagi sesuatu yang sifatnya terpaksa.
Termasuk zakat untuk biaya haji, jawabannya tarjih untuk orang yang duafa dengan pertimbangan tarjih. Karena orang miskin tidak wajib berhaji. Karena wajibnya untuk yang mampu tidak untuk yang tidak mampu. Jadi orang miskin tidak wajib berhaji.
Dalam pada itu, perihal zakat untuk pembangunan masjid atau institusi yang lain, fatwa tarjih bisa digunakan untuk pembangunan masjid yang belum selesai. Jika ada yang belum selesai bisa dibantu dengan dana zakat agar selesai. Ini sabililah dengan pertimbangan yang matang, jadi perlu dipertimbangkan dengan sabilillah yang lain.
Kemudian ada fatwa untuk zakat boleh modal usaha. Caranya adalah dengan menggunakan bagian fakir miskin dan fi sabilillah. Dengan dasar diberitahukan kepada mereka yang fakir miskin agar mengerti sehingga ada kehati-hatian.
Termasuk juga zakat untuk korban bencana yang perlu mendapat perhatian dan memastikan bahwa zakat itu tidak ada yang membutuhkan dibanding mereka yang terdampak bencana. Dalam kondisi darurat yang lebih tinggi korban bencana bisa diberikan.
Kompleksnya jawaban seputar tarjih tentang persoalan zakat, Lazismu sedapat mungkin dapat merujuk putusan tarjih dan fatwa tarjih. Adapun yang sifatnya penting dapat berkonsultasi dengan dewan pengawas syariah untuk mendapatkan opini syariah.
[Kelembagaan dan Humas Lazismu PP Muhammadiyah]

