Zakat Untuk Keadilan Sosial, Bukan Sekedar Mengentaskan Kemiskinan
Ditulis oleh berita
Ditulis pada 05:56, 30/08/2021
LAZISMU.ORG - Direktur Utama Lazismu PP Muhammadiyah M Sabeth Abilawa menyebut bahwa selama ini masyarakat ‘terjebak’ dengan tafsir makna zakat yang dikaitkan untuk mengatasi persoalan kemiskinan. Padahal, dalam tafsir yang lebih luas, Sabeth mengingatkan bahwa zakat seharusnya dijadikan sebagai instrumen untuk mendapatkan keadilan.
“Zakat ini lebih bersifat pembelaan terhadap keadilan sosial. Maka isu perlindungan anak perempuan bisa dikaitkan dengan zakat. Sehingga spirit zakat itu bukan untuk mengentas kemiskinan, melainkan untuk membebaskan dari ketidakadilan. Isu keadilan sosial seharusnya ditanamkan ke lembaga filantropi,” terang Sabeth Abilawa.
Hal tersebut ia sampaikan dalam Seri Diskusi 16 Minggu yang digelar oleh Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan Jakarta bersama Lazismu, Jumat (27/8). Diskusi tersebut mengambil tema Kemerdekaan Perempuan & Anak dari Kekerasan Seksual dan digelar secara daring.
Ia pun menyayangkan jumudnya tafsir zakat yang berkembang ditengah masyarakat terhadap golongan yang berhak menerima zakat atau asnaf. Menurutnya tafsir tersebut perlu ditinjau ulang, sehingga dapat memasukan varian baru secara kontekstual.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Yulianti Muthmainnah, menyadari bahwa selain merupakan ibadah sosial, zakat bisa menjadi jaring pengaman sosial bagi kelompok dhuafa dan mustadhafin.
Namun faktanya, berdasarkan buku ‘Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak’ yang ditulis Yulianti Muthmainnah (2021), ditemukan data lembaga-lembaga filantropi di Indonesia belum memberikan perhatian serius pengalokasian dana zakat bagi para korban. Padahal, menurut buku tersebut, para korban berhak menempati empat golong (asnaf) para penerima zakat sebagaimana yang termuat dalam QS at-Taubah ayat 60, sebagai ijtihad kontemporer dalam berzakat dan menjadi gerakan filantropi nasional.
“Buku ini adalah ijtihad kontemporer untuk membuka kesadaran banyak orang bahwa korban KDRT, korban kekerasan seksual berhak atas zakat. Selama 16 Minggu kegiatan, selain bedah buku juga sekaligus ‘Gerakan Zakat Nasional Mulai dari Muzzaki Perempuan untuk Mustahik Perempuan’ yakni menggalang solidaritas dan dana zakat bagi korban. Dan diharapkan menjadi kesadaran baru bagi semua pihak, memperkuat nilai-nilai ukhuwah nisaiyah atau persaudaraan sesama perempuan (sisterhood) untuk mendukung korban,” terang Yulianti Muthmainnah.
Koordinator bidang PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Erni Juliana, juga menyatakan di era berkemajuan saat ini, sangat mudah untuk mengajak publik melakukan kebaikan termasuk melaksanakan zakat bagi korban kekerasan. Selama 16 minggu rangkaian kegiatan, Erni mengajak peserta untuk membantu korban kekerasan melalui zakat dan menyalurkannya ke lembaga filantropi.
“Upaya yang kita lakukan ini akan membantu mereka yang dianggap lemah, apalagi momentum kemerdekaan hari ini seharusnya dapat menumbuhkan kesadaran individu untuk mengekspresikan keinginan mereka, selama tidak bertentangan dengan UU, atau juga membahayakan keselamatan orang lain,” tutur Erni, dalam sambutannya.
Dalam diskusi ini, Komisioner Komnas Perempuan 2010-2019, Sri Nurherwati, menyatakan bahwa persoalan perempuan korban dalam mendapatkan keadilan lantaran minimnya akses layanan. Layanan hukum, layanan kesehatan dan kesejahteraan bagi semua orang menjadi mustahil bagi korban.
Menurutnya pendampingan yang telah dilakukan selama ini tidak cukup, akibat meningkatnya pengaduan dan fakta kekerasan yang terus berlangsung dialami perempuan korban. Penyelenggara negara mengeluhkan beban mewajiban negara yang harus ditanggung, sehingga cenderung meminta permakluman dari perempuan korban bila belum mendapatkan layanan.
Lahirnya buku ini, dikatakan Sri Nurherwati, ibarat mengetuk pintu di tengah tantangan, hambatan dan kesulitan dalam melakukan pendampingan terhadap korban. Sistem akses keadilan perempuan korban dapat dimulai dari pengakuan hak dan akses perempuan korban memperoleh zakat. Selain berharap adanya terobosan hukum, ia pun mengapresiasi karya buku zakat.
“Kondisi seperti ini tidak dapat diterima ataupun dimaklumi. Maka pemikiran yang maju, inovasi dan komitmen diharapkan dari berbagai pihak. Zakat untuk perempuan korban kekerasan yang ditulis Yulianti Muthmainnah, saya fikir dapat menjadi terobosan jalan keluar bagi korban dan mengakhiri kekerasan yang dialaminya,” ujar Sri Nurherwati.
Reporter: Yusuf
“Zakat ini lebih bersifat pembelaan terhadap keadilan sosial. Maka isu perlindungan anak perempuan bisa dikaitkan dengan zakat. Sehingga spirit zakat itu bukan untuk mengentas kemiskinan, melainkan untuk membebaskan dari ketidakadilan. Isu keadilan sosial seharusnya ditanamkan ke lembaga filantropi,” terang Sabeth Abilawa.
Hal tersebut ia sampaikan dalam Seri Diskusi 16 Minggu yang digelar oleh Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan Jakarta bersama Lazismu, Jumat (27/8). Diskusi tersebut mengambil tema Kemerdekaan Perempuan & Anak dari Kekerasan Seksual dan digelar secara daring.
Ia pun menyayangkan jumudnya tafsir zakat yang berkembang ditengah masyarakat terhadap golongan yang berhak menerima zakat atau asnaf. Menurutnya tafsir tersebut perlu ditinjau ulang, sehingga dapat memasukan varian baru secara kontekstual.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Yulianti Muthmainnah, menyadari bahwa selain merupakan ibadah sosial, zakat bisa menjadi jaring pengaman sosial bagi kelompok dhuafa dan mustadhafin.
Namun faktanya, berdasarkan buku ‘Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak’ yang ditulis Yulianti Muthmainnah (2021), ditemukan data lembaga-lembaga filantropi di Indonesia belum memberikan perhatian serius pengalokasian dana zakat bagi para korban. Padahal, menurut buku tersebut, para korban berhak menempati empat golong (asnaf) para penerima zakat sebagaimana yang termuat dalam QS at-Taubah ayat 60, sebagai ijtihad kontemporer dalam berzakat dan menjadi gerakan filantropi nasional.
“Buku ini adalah ijtihad kontemporer untuk membuka kesadaran banyak orang bahwa korban KDRT, korban kekerasan seksual berhak atas zakat. Selama 16 Minggu kegiatan, selain bedah buku juga sekaligus ‘Gerakan Zakat Nasional Mulai dari Muzzaki Perempuan untuk Mustahik Perempuan’ yakni menggalang solidaritas dan dana zakat bagi korban. Dan diharapkan menjadi kesadaran baru bagi semua pihak, memperkuat nilai-nilai ukhuwah nisaiyah atau persaudaraan sesama perempuan (sisterhood) untuk mendukung korban,” terang Yulianti Muthmainnah.
Koordinator bidang PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Erni Juliana, juga menyatakan di era berkemajuan saat ini, sangat mudah untuk mengajak publik melakukan kebaikan termasuk melaksanakan zakat bagi korban kekerasan. Selama 16 minggu rangkaian kegiatan, Erni mengajak peserta untuk membantu korban kekerasan melalui zakat dan menyalurkannya ke lembaga filantropi.
“Upaya yang kita lakukan ini akan membantu mereka yang dianggap lemah, apalagi momentum kemerdekaan hari ini seharusnya dapat menumbuhkan kesadaran individu untuk mengekspresikan keinginan mereka, selama tidak bertentangan dengan UU, atau juga membahayakan keselamatan orang lain,” tutur Erni, dalam sambutannya.
Dalam diskusi ini, Komisioner Komnas Perempuan 2010-2019, Sri Nurherwati, menyatakan bahwa persoalan perempuan korban dalam mendapatkan keadilan lantaran minimnya akses layanan. Layanan hukum, layanan kesehatan dan kesejahteraan bagi semua orang menjadi mustahil bagi korban.
Menurutnya pendampingan yang telah dilakukan selama ini tidak cukup, akibat meningkatnya pengaduan dan fakta kekerasan yang terus berlangsung dialami perempuan korban. Penyelenggara negara mengeluhkan beban mewajiban negara yang harus ditanggung, sehingga cenderung meminta permakluman dari perempuan korban bila belum mendapatkan layanan.
Lahirnya buku ini, dikatakan Sri Nurherwati, ibarat mengetuk pintu di tengah tantangan, hambatan dan kesulitan dalam melakukan pendampingan terhadap korban. Sistem akses keadilan perempuan korban dapat dimulai dari pengakuan hak dan akses perempuan korban memperoleh zakat. Selain berharap adanya terobosan hukum, ia pun mengapresiasi karya buku zakat.
“Kondisi seperti ini tidak dapat diterima ataupun dimaklumi. Maka pemikiran yang maju, inovasi dan komitmen diharapkan dari berbagai pihak. Zakat untuk perempuan korban kekerasan yang ditulis Yulianti Muthmainnah, saya fikir dapat menjadi terobosan jalan keluar bagi korban dan mengakhiri kekerasan yang dialaminya,” ujar Sri Nurherwati.
Reporter: Yusuf