

Sebelumnya, ia bekerja di perusahaan tambang di Kalimantan. Namun, karena satu dua hal, ia bercerai dengan istrinya. Istrinya tetap di Kalimantan, dan ia pulang ke Jember, rumah pertamanya.
Sebagai perantau yang memutuskan pulang kampung di usia yang tak lagi muda, ia tidak mudah mencari pekerjaan. Akhirnya, pilihan terakhir jatuh pada pekerjaan serabutan. Jika ada orang yang membutuhkan tenaganya sebagai tukang bangunan, maka ia tak akan menolak.
Sebagaimana siang itu, ia tengah bekerja dengan sigap. Namun, tanpa pernah diduga sebelumnya, tiba-tiba kesadarannya hilang. Tubuhnya limbung, ambruk ke tanah di bawah terik matahari. Pekerja bangunan yang lain panik dan segera membawa Pak Edi ke rumah sakit terdekat.
Sampai di rumah sakit, ia tak kunjung sadar. Alih-alih sadar, ia malah koma hingga lebih dari satu bulan. Padahal, ia tak punya riwayat sakit apapun sebelumnya.
Setelah lebih dari satu bulan koma, kesadarannya berangsur-angsur kembali datang. Sayangnya, ia tak bisa pulih seperti semula. Ia kehilangan kendali atas fungsi ototnya. Pak Edi lumpuh.
Menurut keterangan dokter, ada gumpalan di otaknya yang menyebabkan sebagian sarafnya mati, sehingga tidak bisa berfungsi dengan baik. Selain itu, Pak Edi juga kesulitan untuk berkomunikasi dengan baik. Kadang, ia bisa menjawab pertanyaan orang lain dengan baik, namun kadang juga tidak.
Hingga kini, Pak Edi masih lumpuh. Kabar baiknya, seminggu yang lalu, ia mulai bisa duduk. Melihat hal tersebut, akhir bulan Oktober lalu, Lazismu Jember memberikan bantuan kursi roda kepada Pak Edi. Kursi roda tersebut diberikan agar Pak Edi bisa sedikit bergerak ke luar rumah untuk memulihkan kondisi psikologinya, sehingga mampu memberikan energi positif bagi Pak Edi.
Kini, kehidupan Pak Edi bergantung kepada anak pertamanya. Ia dikaruniai dengan 3 orang putra. Anak pertama sudah lulus SMK, sementara anak kedua dan ketiga masing-masing masih menempuh pendidikan di tingkat SD dan SMP.
Anak pertama menjadi tulang punggung keluarga. Sayangnya, ia tak hanya harus merawat bapaknya saja. Ia juga harus merawat bapak dan ibu dari Pak Edi, alias kakek dan nenek kandungnya. Kakeknya, sejak beberapa tahun yang lalu, tidak bisa melihat kehidupan karena buta. Sementara penglihatan neneknya juga tidak begitu baik, ia rabun.
Anak pertama tersebut berjuang keras supaya keluarga kecil tersebut masih bisa bertahan, dengan segenap kekuatan yang ada. Ia harus merawat ayahnya, kakek neneknya, sekaligus mencari biaya untuk pendidikan kedua adiknya.
Untuk mencari penghidupan, ia membuka usaha warung kopi lesehan di pinggir jalan. Penghasilannya pun tak menentu. "Paling tidak sampai 50 ribu per hari," ujar Asbit, salah satu pengurus Lazismu Jember.
Dengan penghasilan tersebut, dan sedikit bantuan dari orang-orang yang peduli, ia mencoba terus bertahan hidup bersama keluarga yang ia cintai.
Ia masih terus memelihara harapan bahwa suatu saat bapak yang membesarkannya tersebut akan sembuh, karena usianya sejatinya belum terlalu senja. Usia Pak Edi belum menyentuh angka 50.
Satu bulan terakhir, anak Pak Edi menutup sementara warung kopinya karena harus mengantarkan kontrol bapaknya.
Selain memberikan bantuan kursi roda, Lazismu Jember juga memberikan bantuan sembako kepada keluarga yang tengah dirundung cobaan tersebut.
(Yusuf)

Salah satu poin dalam Arah Kebijakan dan Strategi Penguatan Perguruan Tinggi yang dikeluarkan oleh Bappenas menyebut bahwa Perguruan Tinggi harus mulai melakukan pengembangan dana abadi (endowment fund) dan pengembangan filantropi.
Sayangnya, menurut Direktur Utama Lazismu PP Muhammadiyah Sabeth Abilawa, belum banyak kampus di Indonesia yang melakukan dua hal tersebut. Padahal, di kampus-kampus besar dan tua di dunia telah menggunakan dana abadi untuk membiayai operasional pendidikannya, seperti Universitas Al-Azhar Kairo, Harvard, Oxford, dan Cambridge.
Dalam hal ini, Perguruan Tinggi Muhammadiyah di seluruh Indonesia dan juga di luar negeri memiliki potensi yang besar untuk mulai menggunakan sistem wakaf tunai atau dana abadi untuk membiayai operasional pendidikan. Besarnya aset dan wakaf yang dimiliki oleh Muhammadiyah bisa saja digunakan untuk pengembangan dana abadi.
Ada kolaborasi pentahelix lima sektor yang menurut Sabeth harus dilakukan untuk memajukan perguruan tinggi, yaitu sektor perguruan tinggi itu sendiri, sektor industri, sektor filantropi, pemerintah, dan masyarakat. Sektor filantropi tidak bisa ditinggalkan untuk pengembangan dan kolaborasi perguruan tinggi. Filantropi memiliki potensi dana 346 triliun rupiah. Sedangkan yang bisa dikelola baru sekitar 50 triliun. Di sisi lain, sektor filantropi juga lebih bisa bertahan di tengah pandemi.
Hasil survei Lazismu tentang Dampak Sosial Ekonomi Covid-19 Terhadap Perilaku Berderma Masyarakat tahun 2021 menyebut bahwa meskipun pendapatan masyarakat menurun, namun semangat berderma masyarakat tidak menurun.
Belakangan muncul model crowdfunding digital yang begitu besar seperti Kitabisa. Percepatan sektor filantropi ini semakin menggembirakan dunia filantropi, dan membuat pelaku filantropi semakin optimis bahwa ia memiliki potensi yang sangat besar.
Di dalam filantropi ada tiga level, yaitu karitatif (sekedar sumbangan), empowering (pemberdayaan), dan advokasi. Karitatif biasanya berbentuk pemberian beasiswa. Empowering biasanya berbentuk bantuan modal untuk pelaku UMKM dengan pendampingan dan pembinaan. Sedangkan advokasi bisa digunakan untuk mendanai riset-riset yang memiliki luaran perubahan kebijakan. Hal ini masih jarang dilirik oleh perguruan tinggi. Padahal, ia bisa mendanai pendidikan dan riset.
Tri Dharma perguruan tinggi harus melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas, yang bisa diserap secara maksimal oleh industri sehingga bisa berdampak terhadap kesejahteraan. Maka perlu adanya keterkaitan antara riset, perguruan tinggi, dan kewirausahaan.
Di Lazismu misalnya, ada skema call for proposal untuk tema-tema riset kemiskinan, ketahanan pangan, mitigasi dan resiliensi bencana, resolusi konflik, dan lain-lain. Lembaga filantropi harus memiliki alokasi pendistribusian dana untuk riset.
Perguruan tinggi juga bisa mengirim mahasiswa untuk magang atau praktik kerja di lembaga filantropi yang ada di Indonesia. Sehingga, setelah lulus, mahasiswa tidak hanya memiliki pengetahuan yang mekanis, namun juga memahami relasi sosial di masyarakat, ketimpangan, dan lain-lain.
(Yusuf)

"Belum, Pak," jawab kami serempak. Siang itu, saya bersama Rohmat, amil Lazismu Sukoharjo tengah duduk melingkar bersama dua bapak setengah baya, Pak Hadi beserta satu jamaah masjid.
"Seminggu yang lalu anaknya meninggal," ujar Pak Hadi. Raut mukanya berubah menjadi sedih.
Yang ia maksud meninggal dunia adalah Shava Queenta Kinanti, seorang anak berusia 15 tahun yang tinggal bersama kedua orang tua dan 3 adiknya. Ia tinggal di sebuah indekos kecil di Sukoharjo.
Satu tahun silam, pertengahan tahun 2020 Shava divonis kanker lutut oleh dokter. Ada benjolan di sekitar lututnya yang semakin lama semakin membesar. Waktu itu, ia tengah menempuh pendidikan kelas 2 SMP. Vonis tersebut membuatnya harus intens mengikuti perawatan, sekaligus menghalangi aktivitasnya untuk mengikuti pembelajaran dari sekolah layaknya teman-temannya.
Oleh kedua orang tuanya, Shava dilarikan ke klinik kecil. Keterbatasan ekonomi membuat orang tuanya tidak mampu membiayai pengobatan di rumah sakit yang besar, yang secara profesional lebih mampu menangani penyakit kanker lutut.
Hal itu bisa dimaklumi. Ibu Shava harus mengurus 3 anak yang masih kecil selain Shava. Di sisi lain, ia tengah hamil. Sementara itu, bapaknya bekerja dengan berjualan secara daring. Menurut data Lazismu Sukoharjo, ia memiliki penghasilan per bulan 500 ribu - 1 juta rupiah.
Kabar baiknya, setelah beberapa bulan menjalani perawatan seadanya, Shava mendapatkan kartu BPJS. Kartu tersebut membuat keluarganya mampu membawa Shava ke pengobatan yang lebih memadai.
Namun, malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Kanker yang ia alami semakin parah. Dokter merekomendasikan kemoterapi. Merasa tak punya pilihan lain, orang tua Shava menyetujui tindakan kemoterapi kepada anak kesayangan mereka.
Kemoterapi adalah cara menghentikan pertumbuhan sel kanker yang bersarang di dalam tubuh. Meski mampu menghancurkan sel kanker, kemoterapi juga dapat merusak sel sehat yang berada di sekitarnya. Sel sehat yang ikut rusak inilah yang dapat mengakibatkan efek samping. Namun, efek samping yang muncul umumnya akan segera menghilang setelah pengobatan kemoterapi selesai. Efek samping kemoterapi yang cukup umum adalah rambut rontok. Hal ini juga dialami oleh Shava. Ia kehilangan seluruh rambutnya.
Sayang, kemalangan tak berhenti di situ. Lagi-lagi dokter harus menyampaikan kabar buruk ke Shava dan keluarga. Menurut keterangan dokter, kanker di lutut Shava tidak mau bersikap kooperatif, sehingga kaki Shava harus diamputasi. Jika tidak, kanker ganas tersebut akan menjalar ke bagian tubuh yang lain.
Apa boleh buat? Dengan penuh isak tangis, disaksikan oleh adik-adik Shava yang masih kecil dan masih butuh perhatian lebih, orang tua Shava menyetujui tindakan amputasi. Shava tidak tau, dengan satu kaki, masa depan apa yang akan ia jalani.
Pertangahan bulan September 2021, salah satu kaki Shava diangkat. Takdir memang misteri. Manusia sedikitpun tak bisa mengintip apa yang akan terjadi esok hari. Ia hanya bisa berencana dan berusaha. Hasilnya? Wallahu a'lam. Kata bijak bestari, hasil tak sudi menghianati usaha. Namun, segala usaha yang telah dilakukan oleh Shava dan keluarganya tak kunjung melahirkan hasil yang diinginkan.
Namun, keluarga kecil yang sederhana tersebut tetap berusaha memegang teguh janji dari Tuhan. Bahwa apa yang menjadi milik kita, sedetikpun tak akan pernah meninggalkan kita. Di sisi lain, apa yang bukan milik kita, akan secara perlahan meninggalkan kita. Kata Ali bin Abi Thalib, apapun yang menjadi takdirmu akan mencari jalan menemukanmu. Di balik semua kesulitan yang dialami Shava, kita tidak tau ada kemudahan apa yang menanti di depan.
Sayangnya, kemudahan dan kabar baik yang diharapkan tersebut nampak masih agak jauh. Setelah diamputasi, kondisi Shava tak kunjung membaik. Kesehatannya drop. Ia semakin lemah terbaring di rumah indekos sederhananya. Berat badannya turun drastis, dari 50 kg menjadi 26 kg. Kondisi tersebut berlangsung selama satu bulan. Hingga akhirnya, kabar yang menutup seluruh cerita Shava itu datang.
Jumat, 15 Oktober 2021, Shava datang memenuhi panggilan Tuhan. Shava telah menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Ia telah menjadi anak kecil yang tabah menerima takdir Tuhan.
Apakah benar kita diberi kesempatan memilih? Atau tugas kita sebenarnya hanya menerima dan menjalani ketetapan-Nya? Barangkali, manusia berhak memilih, namun pilihannya terbatas.
Kisah Shava mengingatkan kita pada kisah Gitta Sessa Wanda Cantika, gadis 13 tahun yang divonis oleh dokter mengidap penyakit rabdomiosarkoma atau kanker jaringan lunak. Kanker jaringan lunak adalah salah satu kanker ganas paling mematikan di dunia. Kisah nyata tersebut dituliskan oleh Agnes Davonar menjadi sebuah novel berjudul Surat Kecil untuk Tuhan dan difilmkan oleh Sautradara Harris Nizam dengan judul yang sama.
Kisah Keke, panggilan Gitta Sessa di novel yang saya baca ketika SMP langsung memenuhi memori saya. Shava dan Keke sama-sama gadis kecil yang bahkan belum menikmati indahnya masa putih abu-abu. Namun, mereka telah berada dalam rengkuhan rahmat dan kasih sayang Tuhan nun jauh di sana. Selamat jalan, Shava.
"Ya sudah mas, kita langsung ke rumahnya saja," ajak Pak Hadi. Ia mengajak kami ke rumah Shava untuk menyalurkan bantuan. Lazismu Sukoharjo memberikan bantuan berupa sembako dan subsidi biaya indekos untuk keluarga Shava selama 3 bulan.
(Yusuf)

Bahkan, menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dalam 4 tahun ke depan, dari 20 juta kelahiran bayi, 7 juta di antaranya berpotensi mengalami stunting. Stunting adalah gangguan pertumbuhan fisik pada anak, salah satu indikatornya adalah memiliki tubuh yang pendek.
Dilansir dari situs kesehatan Hello Sehat, tubuh yang pendek dibandingkan dengan teman seusianya adalah tanda dari adanya masalah gizi kronis pada pertumbuhan anak. Tubuh pendek memang belum tentu stunting, namun stunting sudah pasti pendek.
Akibat jangka pendeknya, perkembangan otak dan kecerdasan anak akan terganggu. Selain itu juga terjadi gangguan metabolisme. Adapun akibat jangka panjang dari stunting antara lain kekebalan tubuh yang lemah, resiko penyakit metabolik seperti kegemukan, penyakit pembuluh darah, dan kesulitan belajar.
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sedangkan, Islam adalah agama yang sangat memperhatikan kemajuan peradaban. Salah satu parameter kemajuan peradaban adalah tumbuhnya anak-anak menjadi penerus bangsa yang sehat dan cerdas. Sehingga, Muhammadiyah melihat stunting sebagai sebuah permasalahan yang harus segera diselesaikan.
Melihat hal tersebut, Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah (PP NA) bersama Lazismu Pimpinan Pusat Muhammadiyah bekerja sama menggelar kegiatan Timbang (Tingkatkan Gizi Seimbang). Program yang berjalan sejak tahun 2018 hingga sekarang tersebut dilaksanakan di dua tempat, yaitu di Desa Rawabelut, Sukaresmi, Cianjur, Jawa Barat dan Desa Nunusunu, Kec. Kualin, Kab. Timor Tengah Selatan, Prov. Nusa Tenggara Timur.
Dua lokasi tersebut merupakan desa prioritas pemerintah karena prevalensi stunting cukup tinggi. Selain itu, di dua lokasi tersebut, masyarakat belum menerapkan PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat). Masyarakat masih melakukan BAB sembarangan, membuang sampah ke sungai, dan lain-lain.
Di sisi lain, masih ada angka perkawinan dini yang tinggi (di atas 35%), adanya doktrin dari tokoh agama yang menolak imunisasi., masyarakat miskin, sulitnya akses ke layanan publik, dan kader posyandu dan PKK tidak bisa menyampaikan pesan pencegahan stunting ke masyarakat dengan baik.
Hingga saat ini, program tersebut telah menjangkau 66 tenaga kesehatan, 81 tokoh agama, tokoh masyarakat, dan perangkat desa, 224 remaja, 98 perangkat RT/RW, 181 masyarakat umum, 160 keluarga yang belum memiliki septic tank, 100 anak-anak PAUD, 199 ibu hamil, menyusui, dan ibu dengan balita, 117 keluarga kurang gizi, dan 22 bayi di bawah dua tahun.
Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di dua tempat tersebut anatara lain Pelatihan Tenaga Kesehatan, Pelatihan Tokoh Masyarakat, Adat, dan Agama, Samara Course, Training of Trainer Fasilitator Desa, Penyelenggaraan Family Learning Center, Kampanye Media Pencegahan Stunting, dan Pashmina.
Pelatihan tenaga kesehatan bertujuan untuk membangun usulan strategi bersama tenaga kesehatan desa dan kader Posyandu dalam upaya pencegahan stunting. Pelatihan tokoh masyarakat, adat, dan agama dilakukan karena keberadaaan tokoh masyarakat, tokoh agama, kepala dusun dan perangkat desa mempunyai peran sangat strategis untuk memberikan pemahaman dan memberi penyadaran kepada masyarakat.
Salah satu langkah dalam upaya pencegahan stunting, Nasyiatul Aisyiyah melakukan beragam fasilitasi, pelatihan dan kegiatan kolaborasi dengan komunitas berbasis masyarakat melalui penyelenggaraan Family Learning Center (FLC). Upaya ini diawali dengan pembentukan tim fasilitator desa sebanyak dua belas orang yang merupakan representasi dari pengurus PKK, kader Posyandu serta tokoh masyarakat di setiap dusun.
Penanganan difokuskan pada penyebab utama masalah gizi ibu dan anak. Berbagai bentuk kegiatan diarahkan kepada upaya ketahanan pangan yang mencakup akses terhadap makanan bergizi seimbang keluarga, praktik pemberian ASI eksklusif dan MPASI bayi bagi ibu hamil, ibu menyusui, dan ibu dengan balita, AKG pada remaja, kebiasaan perilaku hidup sehat, serta ketersediaan air bersih dan sanitasi dengan mengadakan arisan jamban sehat.
Adapun, rencana tindak lanjut dari program Timbang tersebut adalah penyediaan sarana air bersih & sanitasi berbasis masyarakat, revitalisasi pelayanan Posyandu berbasis pemberdayaan, dan kampanye pencegahan pernikahan anak.

Uniknya, pria kelahiran Kudus, Jawa Tengah tersebut mengajak masyarakat menggunakan pantun. Pantun tersebut ia bagikan melalui akun Instagram pribadinya, abe_mukti, Rabu (26/5).
Berikut pantun ajakan donasi yang ia tulis:
Dari Semarang ke Boyolali
Singgah sejenak di Salatiga
Hati senang bisa berbagi
Bantu saudara di Palestina
Di Salatiga membeli lontong
Enak nikmati dengan tahu
Kalau saudara tak mau nolong
Janganlah iri pada yang bantu
Anak santri pakai kopiah
Tunaikan shalat berjamaah
Kalau memberi lewat Muhammadiyah
Bantuan dibagi sesuai amanah
Sebelumnya, Abdul Mu'ti juga pernah membagikan puisi buatannya sendiri yang didedikasikan untuk Palestina. Puisi tersebut ia bagikan melalui akun Twitter pribadinya, @Abe_Mukti pada 23 Mei lalu. Berikut puisinya:
PALESTINA
Di Palestina
anak-anak berlarian di jalanan
trat-tat-tat trat-tat-tat
trat-tat-tat trat-tat-tat
dor, blum
peluru berdesing,
bom menggelegar
anak-anak menggelepar
bersimbah darah
mereka tak punya negeri
tak punya masa depan
Reporter : Yusuf

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ … [البقرة] (2): 184
"Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin …” [QS al-Baqarah (2): 184].
Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa, jika seseorang dalam keadaan sakit atau sedang berada dalam suatu perjalanan sehingga merasa berat untuk melakukan puasa, maka boleh baginya hutang puasa dan mengganti kewajiban puasanya di hari yang lain. Kemudian sekiranya di hari yang lain pun ia tidak mampu menggantinya, disebabkan karena uzur syar‘i, maka ia bisa mengganti puasa yang ditinggalkan dengan cara membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.
Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, mengenai qadha atau hutang puasa orangtua yang masih hidup, namun sudah tidak mampu menggantinya disebabkan suatu uzur (dalam hal ini karena sering sakit-sakitan), maka Islam memberikan kemudahan untuk mengganti puasa yang ditinggalkan dengan cara membayar fidyah bukan dengan mengqadha puasa orangtua yang dilakukan oleh anak.
Selanjutnya mengenai qadha puasa bagi orangtua yang telah meninggal dunia, Majelis Tarjih dan Tajdid melalui laman resminya menyampaikan beberapa hadis sebagai berikut:
1- [عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ [متفق عليه
“Dari Aisyah ra [diriwayatkan] bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa meninggal dunia padahal ia berhutang puasa, maka walinyalah yang berpuasa untuknya” [Muttafaq Alaih]. Baca Juga Mengapa Muhammadiyah tidak Bermazhab?
2- عَنِ اْبنِ عَبَّاٍس رَضِيَ اللهُ عَنْهُماَ قاَلَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ، أَفَأَقْضِيَهُ عَنْهَا؟ قاَلَ: لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ، أَكُنْتَ قاَضِيَهُ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَدَيْنُ اللهِ أَحَقٌ أَنْ يُقْضَى [رواه البخاري
“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu [diriwayatkan] ia berkata: Seorang laki-laki datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata: Ya Rasulullah sungguh ibuku telah wafat padahal ia punya kewajiban puasa satu bulan, apakah saya dapat berpuasa menggantikannya? Nabi menjawab: Jika seandainya ibumu memiliki hutang, apakah engkau akan membayarkannya? Laki-laki itu menjawab: Iya. Selanjutnya Nabi bersabda: Hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan” [HR al-Bukhari].
3- عَنِ بْنِ عَباَّسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ اِمْرَاَةً أَتَتْ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ.فَقَالَ: أَ فَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتِ تَقْضِيْنَهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ : فَدَيْنُ اللهِ أَحَقٌّ بالْقَضَاءِ [رواه مسلم
“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu [diriwayatkan] bahwa seorang wanita datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: Ya Rasulullah, sungguh ibu saya telah meninggal, padahal ia punya kewajiban puasa satu bulan. Lalu Nabi bersabda: Bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki hutang, apakah kamu akan membayarnya ? Wanita itu menjawab: Ya. Lalu Nabi bersabda: Hutang kepada Allah lebih berhak untuk dilaksanakan” [HR Muslim].
4- عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً رَكِبَتْ الْبَحْرَ فَنَذَرَتْ إِنْ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنْجَاهَا أَنْ تَصُومَ شَهْرًا فَأَنْجَاهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فَلَمْ تَصُمْ حَتَّى مَاتَتْ فَجَاءَتْ قَرَابَةٌ لَهَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ صُومِي [أخرجه أحمد
“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu (diriwayatkan) bahwa ada seorang perempuan berlayar mengarungi lautan lalu ia bernadzar seandainya Allah menyelamatkannya ia akan berpuasa selama satu bulan, lalu Allah menyelamatkannya, tapi ia tidak berpuasa sampai ia meninggal. Lalu keluarganya datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan hal tersebut. Lalu beliau bersabda: Berpuasalah untuknya” [HR Ahmad].
Berdasarkan dalil-dalil dari as-Sunnah yang tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa diperintahkan bagi ahli waris untuk mengqadha puasa orangtuanya yang telah meninggal dunia karena orangtuanya belum sempat melaksanakan selama masih hidup. Mengenai cara yang tepat dalam mengganti puasa orang tua, dengan qadha oleh wali atau membayar fidyah.
Dalil-dalil di atas menjelaskan bahwa jika seseorang tidak mampu mengganti hutang puasanya, maka bisa menggantinya dengan cara mengqadha pada hari lain atau membayar fidyah. Adapun bagi orang tua yang masih hidup yang memiliki hutang puasa wajib, dan ia tidak mampu menggantinya di hari yang lain, maka Allah telah memberikan kemudahan dengan cara membayar fidyah untuk menebus hutang puasa.
Cara membayar fidyah bagi orangtua yang masih hidup namun tidak mampu menjalankannya karena merasa berat adalah dengan terlebih dahulu melihat apakah orangtua tersebut memiliki harta atau tidak untuk membayar fidyah. Jika orangtua memiliki harta, maka dia harus membayar fidyah dengan harta yang dimilikinya.
Namun, imbuh Majelis Tarjih dan Tajdid, jika dia tidak memiliki harta maka anak baik dengan perorangan maupun patungan secara moral mereka diperintahkan membayarkan fidyah untuk orangtuanya. Hal ini merupakan salah satu bentuk berbuat ihsannya seorang anak terhadap orangtuanya dan tidak boleh menqadhanya karena orangtuanya masih hidup.
Jika orangtua yang masih memiliki kewajiban puasa yang harus diganti telah meninggal dunia dan belum sempat menggantinya, maka yang paling utama berdasarkan dalil-dalil di atas adalah dengan cara dibebankan kewajiban puasa tersebut kepada ahli warisnya (diqadha oleh ahli warisnya).
Namun terlebih dahulu dilihat, apakah orangtua ketika meninggal dunia meninggalkan harta waris atau tidak, jika terdapat padanya harta waris, maka sebelum harta tersebut dibagikan, terlebih dahulu harta tersebut digunakan untuk membayar fidyah puasa yang ditinggalkan karena hal itu merupakan hutang yang harus dibayar sebelum harta warisan dibagikan dan jelas berdasarkan hadis di atas bahwa hutang kepada Allah lebih utama untuk dibayarkan.
Namun jika orangtua tidak meninggalkan harta, maka secara moral anak (ahli waris) diperintahkan mengqadha puasa atau boleh juga dengan membayar fidyah bagi orangtuanya. Namun melihat kepada hadis-hadis di atas maka yang paling utama menurut Rasulullah adalah qadha puasa yang dilakukan oleh anak (ahli waris).
Sumber: Fatwatarjih.or.id / Majalah Suara Muhammadiyah No. 22, 2016
Editor: Yusuf

